Senin, 31 Maret 2025

Gonjang-ganjing Relokasi Penduduk Rempang di Proyek Strategis Nasional-Rempang Eco City

Oleh: Dr Ferdinand Butarbutar SE MBA
Redaksi - Selasa, 17 Oktober 2023 15:30 WIB
2.697 view
Gonjang-ganjing Relokasi Penduduk Rempang di Proyek Strategis Nasional-Rempang Eco City
Foto: Ist/harianSIB.com
Dr Ferdinand Butarbutar SE MBA
Demo dan bentrok oleh warga Rempang pada hari Kamis tanggal 7 dan 11 September 2023 menunjukkan akumulasi kemarahan warga terhadap aparat TNI, Polri, Satpol Polisi Pamong Praja, Direktorat Pengamanan Otoritas Batam. Perlawanan dilakukan karena tidak rela diusik dengan paksa, dan merasa dirugikan terusir dari tanah leluhurnya. Kampung nenek moyang mereka sudah dihuni sejak thn 1846 oleh suku Melayu Galang, Riau Darat dan Lautan.
Penolakan relokasi tidak bisa diterima warga secara sepihak karena dalam budaya Melayu terdapat sebuah pepatah lokal yang mengatakan "lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut", maksudnya lebih baik mati berjuang daripada hidup menjadi budak. Pepatah ini menginspirasi penduduk untuk terus melakukan perlawanan sejak zaman kolonial melawan pasukan Belanda.
Kemudian berlanjut saat ini ketika pemda Batam hendak merelokasi warga ke pulau Galang, tanah leluhur kembali terancam oleh pihak asing “Nyinyi Group” dari Tiongkok, yang diwakili perusahaan Makmur Elok Graha milik Tomy Winata di Indonesia. Nilai Investasi cukup besar Rp 175 triliun untuk produksi pabrik kaca juga panel solar dan menjadi pabrik nomor dua terbesar di dunia, sumber bahan baku pasir kuarsa dan pasir silika cukup terpenuhi di Rempang dan menjadi andalan bahan baku produksi.
Secara ekonomi, pendapatan perkapita akan meningkat, lapangan pekerjaan akan terbuka, konon kabarnya bisa menampung tenaga kerja sekitar 306.000 sampai tahun 2080. Demikian juga kesempatan UMKM akan terlibat dalam mata rantai penyediaan makanan dan aktivitas ekonomi lainnya. Dalam pengembangannya, Makmur Elok Graha bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata secara terintegrasi.
Proyek itu diharapkan bisa mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia. Kawasan tersebut akan ditempati hotel-hotel mewah, restoran berkualitas, pusat perbelanjaan, dan hiburan. Ada juga rencana untuk membangun pusat konferensi dan pameran yang akan mendukung pertumbuhan industry. Tidak heran Rencana Proyek Strategis Nasional yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo membangun Rempang Eco City menjadi daya tarik ekonomi dengan menggandeng perusahaan Tiongkok, Xinyi Group.
Xinyi sendiri merupakan salah satu produsen kaca terbesar di dunia, mensuplai pasar kaca untuk kebutuhan rumah tangga, otomotif, konstruksi bangunan, dan sebagainya. Bila proyek ini bisa dimanfaatkan di Rempang, maka akan terjadi lompatan kemakmuran, mengangkat status perekonomian Indonesia dimata dunia internasional. Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia: kesempatan ini harus dimanfaatkan secepatnya, pemerintah berkompetisi dengan negara-negara lain untuk mendapat investasi besar dan strategis. Indonesia akan menderita banyak kerugian kalau Xinyi Group batal investasi di Pulau Rempang, akan kehilangan potensi pendapatan asli daerah dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Maka diimbau penduduk Rempang harus segera meninggalkan lahannya, dan siap direlokasikan ke pulau lain, batas waktu pengosongan lahan sampai akhir September 2023, supaya progress investasi bisa berjalan dengan lancar.
Kebijakan Walikota/Ketua Otorita Batam
Pemda, diwakili Walikota dan sebagai Pimpinan Otorita Batam Muhammad Rudi, menawarkan beberapa fasilitas di lahan relokasi, seperti: Lahan seluas 500 meter bagi setiap keluarga, dilengkapi dengan sertifikat hak milik; Biaya pembangunan rumah tipe 45 meter sebesar Rp 120 juta; Uang tunggu per bulan sebelum direlokasi Rp1.034.000; Uang sewa rumah Rp1.000.000. Nampaknya tawaran walikota cukup manusiawi, karena memperhatikan kesinambungan hidup masa transisi relokasi.
Pertanyaan muncul: Mengapa warga Rempang tidak bergeming menerima tawaran Pemda untuk di relokasi ke pulau Galang? Alasan pertama, fasilitas tawaran Walikota adalah keputusan sepihak, Pemda tidak pernah melakukan urun rembuk/musyawarah dengan penduduk, atau ketua-ketua adat. Walikota melakukan wewenang dan mengambil keputusan “top down” yang mengecewakan warga, karena dianggap mengusir dengan paksa. Tidak heran demo oleh warga merupakan luapan semangat dan emosi menolak rencana relokasi.
Pada waktu kondisi dan situasi di Rempang tidak kondusif, panglima TNI Jenderal Yudo Margono mengeluarkan pernyataan agar prajurit melakukan “piting” kepada warga Rempang. Terminologi “piting” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: memiting, mengapit, atau menjepit dengan kaki atau lengan. Berbagai pendapat saling simpang siur menanggapi, walaupun akhirnya Sang Jenderal meminta maaf ketika bertemu dengan awak media di dermaga Batu Ampar-Batam.
Kemudian memberikan instruksi agar prajurit tidak arogan kepada masyarakat, bersikap ramah dan tidak terlibat dalam konflik horizontal. Semangat perjuangan Warga Rempang menolak relokasi usulan Otoritas Batam mendapat perhatian dan sikap toleran, Melayu Bersatu muncul, karena merasa tertindas oleh penguasa. Tuntutan adalah menghentikan pembangunan proyek, terutama menolak dilakukannya relokasi terhadap warga. Apakah ada kesalahan menunjuk Rempang menjadi salah satu lokasi untuk Proyek Strategis Nasional? Jawabnya tidak.
Kronologis Pengalihan Rempang ke Perusahaan Swasta
Mari lihat sejenak proses pengalihan hak pakai dalam kasus Rempang. Tanggal 25 Agustus 2004, Ketua Otorita Batam melakukan perjanjian dengan PT. Makmur Elok Graha, mendapat hak pengelolaan lahan terhadap17.600 hektar, selama 80 tahun, di atas lahan tersebut ada hutan lindung 10.028 hektar, sisanya 7.572 hektar akan dikembangkan untuk Kawasan industri. Prioritas utama pembangunan adalah mengelola 2.300 hektar.
Tetapi bila merujuk sejenak terhadap keputusan Menteri Agraria tgl 11 Juni 1993. Yaitu: Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9-VIII-1993 Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau lainnya. Poin g. menyatakan Hak Pengelolaan Otorita Batam tidak bisa mengalihkan kepada pihak ketiga dalam bentuk apapun, kecuali dengan izin Kepala Badan Pertanahan Nasional. Berarti keputusan Otoritas Batam mengalihkan Pulau Rempang kepada swasta benar-benar menyalahi aturan hukum dan melampaui batas wewenangnya sebagai Kepala Otoritas Batam, tindakan dan kebijakan melebih kapasitas Menteri Agraria.
Kemudian pernyataan Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional-Hadi Tjahjanto tgl 17 September 2023 sangat mengejutkan, menurut beliau bahwa “status hak pengelolaan Pulau Rempang” belum diberikan kepada Otoritas Batam, pengurusan surat-surat masih dalam proses” (belum terbit). Artinya Otoritas Batam sama sekali tidak berhak “mengalihkan/menyerahkan” pengelolaan lahan Pulau Rempang kepada siapapun. Tidak heran para demonstran berteriak mengatakan agar investasi proyek strategis nasional dihentikan, dan relokasi terhadap warga dibatalkan karena tidak melakukan pendekatan kekeluargaan.
Analisis Kelayakan Proyek
Menurut Direktur Walhi Nasional Zenzi Suhadi, proyek bermasalah karena pemerintah tidak mengkaji lebih dahulu “cost dan benefit”, tetapi dipaksakan dengan wacana ekonomi dan politis, mengabaikan kehidupan sosial budaya masyarakat lokal. Bila disimak, niat pemerintah pusat meningkatkan “branding” Indonesia di mata Internasional baik. Tetapi “kebijakan” dan sosialisasi pendekatan terhadap warga Rempang tidak transparan, karena pendekatannya “top down".
Kiranya kasus Rempang bisa menjadi salah satu model pembelajaran bagi pemerintah pusat, untuk membuat peta “Tata Ruang Nasional”. Pemetaan ini wajib dikomunikasikan khususnya kepada masyarakat yang lokasinya akan digunakan menjadi Proyek Strategis Nasional. Dengan demikian warga tidak merasa kaget dan tergusur bila kemudian hari pemda melakukan eksekusi. Juga untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang Pemda setempat, karena aspek perencanaan sudah “transparan”.
Hak-hak penguasaan lahan perlu diperjelas, karena konflik sebagian besar terjadi pada kasus Agraria untuk memenuhi kebutuhan lahan pegembangan bisnis, perkebunan, infrastruktur, dan perumahan. Pemerintah pusat perlu melakukan kolaborasi lintas departemen untuk menyelesaikan konflik agraria. Biarlah kasus Rempang menjadi pembelajaran penting bagi pemangku jabatan di negara ini.
Pembangunan strategis sangat perlu dan dibutuhkan, karena merupakan instrumen meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi tidak bisa dipungkiri dalam setiap terjadi proses pembangunan selalu dibarengi dengan persoalan konflik agraria dimana dimensi kekerasan selalu muncul terhadap warga, dan hal ini yang patut diwaspadai.(Penulis adalah mantan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pelita Harapan)

Editor
: Bantors Sihombing
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru