MASIH ingatkah dengan instruksi Jaksa Agung Sanitier (ST) Burhanuddin saat membuka Rapat Kerja Teknis Bidang Tindak Pidana Umum Tahun 2021 kemarin?. Disitu, Jaksa Agung secara tegas meminta jajarannya untuk mengedepankan hati nurani dalam melakukan penuntutan.
'Saya tidak menghendaki para jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati hurani. Sumber dari hukum adalah moral dan di dalam moral ada hati nurani'. Begitulah ucapan Burhanuddin sambil meminta Jaksa tidak melakukan penuntutan secara sembarangan, tanpa melihat keadilan bagi masyarakat.
Beranjak dari itu, penulis menilai Jaksa Agung memiliki komitmen yang tinggi untuk merubah Kejaksaan agar dikenal publik sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ).
Atas itulah pada Rabu (16/3) kemarin, Jaksa Agung resmi meluncurkan Rumah Restorative Justice (Rumah RJ) yang ditandai dengan peresmian secara daring 31 rumah keadilan restoratif di wilayah hukum kejaksaan negeri sebagai percontohan di Indonesia.
Menurut Arief Hanafi dalam bukunya "Penerapan Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesiaâ€, Jurnal Al’Adl, Volume X Nomor 2, Juli 2018, hlm. 1, pengertian dari keadilan restoratif atau restorative justice adalah upaya untuk memberikan suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.
Sedangkan menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku "A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives" (1996), restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.
Konsep Rumah RJ berdiri ditengah masyarakat pun disambut positif berbagai kalangan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Kuat Puji Prayitno menilai Rumah RJ yang diluncurkan Kejaksaan Agung adalah rumah keadilan dengan arsitek asli Indonesia.
Maksud rumah keadilan dengan arsitek asli Indonesia itu diartikan pilar-pilar keadilan restoratif memiliki karakteristik yang sama dengan nilai-nilai Pancasila dan mengedepankan penyelesaian perkara secara kearifan lokal.
Selain itu, dalam keadilan restoratif juga menginginkan sesuatu yang berkeadilan sosial sesuai dengan sila kelima Pancasila karena di dalamnya melibatkan semua unsur elemen masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki dan membangun keadilan.
Penerapan keadilan restoratif bermula dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan yang dilakukan masyarakat, yang disebut dengan victim offender mediation (VOM), di Kanada pada 1970-an.
Program itu mulanya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim.
Dalam implementasinya di institusi Kejaksaan RI, jaksa menjalankan Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020.
Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.
Data yang dihimpun penulis dari Kajati Sumut Idianto SH MH melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan di Sumatera Utara (Sumut) hingga April 2022, Kejati Sumut telah hentikan penuntutan 54 Perkara dengan pendekatan RJ. Dari 54 perkara yang dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ atau keadilan restoratif ada beberapa perkara KDRT, pencurian sawit, penganiayaan dan kejahatan lainnya.
Namun yang akan dihadapi Kejaksaan RI menurut penulis untuk kedepannya adalah bagaimana peran jaksa sebagai penentu suatu perkara apakah dilanjutkan ke pengadilan atau tidak, dapat memainkan perannya di tengah-tengah masyarakat.
Keaktifan jaksa di Rumah RJ adalah tonggak perubahan yang baru dalam penegakan hukum yang berkeadilan dengan mengadopsi kearifan lokal disetiap Rumah RJ itu berdiri.
Sebagaimana pesan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengatakan bahwa Rumah RJ merupakan upaya pelembagaan terhadap upaya penyelesaian masalah dengan perdamaian dan musyawarah yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung di seluruh Indonesia. Jaksa Agung pun berpandangan konsep keadilan restoratif merupakan suatu konsekuensi logis atas asas ultimum remedium, yaitu asas pidana yang menjadi jalan terakhir sebagai pengejawantahan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. (*)