Selasa, 15 April 2025

Desakan Menguat, Kemenkes Diminta Buka Informasi Kasus Pemerkosaan di RSHS

Redaksi - Kamis, 10 April 2025 19:07 WIB
74 view
Desakan Menguat, Kemenkes Diminta Buka Informasi Kasus Pemerkosaan di RSHS
Foto: Net
Jakarta(harianSIB.com)
Komisi Informasi Pusat (KIP) Republik Indonesia mendesak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk secara aktif menyampaikan perkembangan informasi terkait kasus dugaan pemerkosaan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Langkah ini dinilai penting guna menjaga ketenangan publik dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi layanan kesehatan.

Wakil Ketua KIP, Arya Sandhiyudha, menekankan bahwa meskipun kasus tersebut melibatkan satu oknum dokter, dampaknya meluas dan menimbulkan keresahan di kalangan pasien serta masyarakat. Karena itu, keterbukaan informasi dari seluruh pihak terkait sangat dibutuhkan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.

"Karena sudah mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, penyikapan atas kasus ini masuk kategori Informasi Serta-Merta pada Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang. Badan Publik sektor kesehatan, dalam hal ini Kemenkes, wajib menyampaikan informasi penyikapan terhadap kasus ini," ujar Arya kepada CNBC Indonesia, Kamis (10/4/2025).

Baca Juga:

Arya juga menyoroti pentingnya Kemenkes dalam memberikan hukuman berat kepada pelaku guna memberikan efek jera dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis. Ia menambahkan, penyampaian informasi terus-menerus sangat dibutuhkan mengingat kasus ini melibatkan penyalahgunaan atribut dokter, fasilitas kesehatan, serta kegiatan transfusi darah yang berpotensi menimbulkan kekhawatiran luas di tengah masyarakat.

"Kami mengapresiasi informasi serta-merta yang sudah disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik. Namun, masyarakat juga menunggu kepastian bahwa Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) benar-benar telah mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) pelaku," lanjut Arya.

Baca Juga:

Kemenkes sendiri telah menginstruksikan penghentian sementara selama satu bulan terhadap kegiatan residensi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSHS Bandung. Ini guna evaluasi dan perbaikan pengawasan bersama Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).

Arya juga mengajak seluruh pihak untuk tidak hanya menyelesaikan kasus ini secara formal kelembagaan. Ia menilai Universitas Kristen Maranatha, yang merupakan almamater pelaku, perlu mengambil tanggung jawab moral.

"Meski Universitas Kristen Maranatha bukan Badan Publik, mereka dapat ikut bertanggung jawab moral, misalnya dengan mencabut gelar dokter dari pelaku, demi menyelamatkan kepercayaan publik terhadap tenaga kesehatan dan misi kemanusiaan," ujar Arya.(*)

Editor
: Robert Banjarnahor
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru