Rabu, 16 April 2025

Diam Bisa Membunuh! Femisida, Akibat Kelalaian Perlindungan

Victor R Ambarita - Rabu, 25 September 2024 06:30 WIB
126 view
Diam Bisa Membunuh! Femisida, Akibat Kelalaian Perlindungan
Foto: Dok KemenPPPA
Ilustrasi tolak KDRT
Jakarta (harianSIB.com)
Dua dekade berlalu sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), namun tantangan besar masih membayangi, salah satunya adalah femisida.

Femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan yang dilatarbelakangi oleh jenis kelamin atau gendernya, masih belum mendapatkan perhatian optimal dalam regulasi terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Hal ini menimbulkan urgensi untuk mengoptimalkan pelaksanaan UU PKDRT, agar kekerasan yang dialami perempuan tidak berujung pada kematian tragis.

Baca Juga:

Komnas Perempuan menyoroti, meski banyak kemajuan telah dicapai, beberapa hal mendesak perlu diatasi. Salah satunya adalah integrasi konsep femisida dalam kerangka kebijakan KDRT di Indonesia.

"Femisida sebagai puncak dari KDRT perlu diidentifikasi secara luas agar penanganannya lebih komprehensif," tegas Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, dalam keterangannya, Selasa (24/9/2024).

Baca Juga:

Sejak 2004, Komnas Perempuan mencatat KDRT sebagai bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan, dengan kekerasan terhadap istri (KTI) mendominasi hingga 70% kasus setiap tahunnya.

Namun, yang belum banyak disorot adalah bagaimana KDRT seringkali bereskalasi hingga berujung pada femisida.

Kasus pembunuhan istri oleh suami atau pasangan seringkali merupakan klimaks dari kekerasan yang berulang.

Selain itu, terdapat femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh pasangan intim, termasuk pacar atau mantan suami.

"Tahun 2020 hingga sekarang, kami mengembangkan pengetahuan tentang femisida. Kami menemukan bahwa femisida yang terjadi dalam relasi intim menempati urutan tertinggi," beber Rainy.

Menurut pemantauan Komnas Perempuan pada 2023, dari 162 kasus femisida yang diberitakan, 67% di antaranya terjadi di lingkup relasi intim.

Komnas Perempuan menggarisbawahi pentingnya mekanisme perlindungan yang lebih kuat. UU PKDRT sebenarnya sudah memberikan instrumen berupa perintah perlindungan sementara yang dapat dikeluarkan oleh kepolisian untuk mencegah kekerasan berulang.

Namun, dalam praktiknya, ketentuan ini belum maksimal diterapkan. Banyak pihak penegak hukum dan lembaga layanan korban yang belum mengenali potensi femisida dalam kasus KDRT.

Komisioner Retty Ratnawati menegaskan, ada lima indikasi KDRT yang berpotensi berujung femisida: intensitas kekerasan fisik yang meningkat, muatan kekerasan yang lebih brutal, ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi, dan kurangnya dukungan lingkungan.

"Indikasi-indikasi ini penting digunakan untuk menentukan kapan perlu diterapkan intervensi perlindungan sementara," jelas Retty.

Tidak hanya aparat hukum, partisipasi masyarakat juga sangat penting dalam pencegahan KDRT. UU PKDRT mengamanatkan bahwa setiap orang yang mengetahui adanya KDRT wajib melaporkannya.

Dukungan lingkungan sekitar, terutama dari komunitas terdekat seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bisa menjadi penyelamat bagi korban yang terjebak dalam siklus kekerasan.

"KDRT bukan lagi masalah privat, tetapi tanggung jawab bersama," kata Rainy.

Komnas Perempuan merekomendasikan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta lembaga layanan korban segera mengembangkan sistem penilaian potensi femisida (danger assessment) untuk mendeteksi tanda-tanda bahaya lebih awal.

Selain itu, Komnas juga meminta Kepolisian Republik Indonesia dan Mahkamah Agung untuk memperkuat kebijakan perlindungan sementara agar dapat diterapkan secara cepat dan efektif.

Dengan optimalisasi perlindungan, baik melalui regulasi maupun partisipasi masyarakat, diharapkan KDRT tidak lagi berujung pada femisida.

Pembentukan sistem perlindungan yang lebih kuat dan responsif akan menjadi langkah krusial dalam menjadikan rumah tangga sebagai tempat yang aman, bukan medan kekerasan.(*)

Editor
: Bantors Sihombing
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru