Rabu, 23 April 2025

BPS Catat Deflasi Agustus 2024 Sebesar 0,03 Persen, Tanda Daya Beli Melemah

Donna Hutagalung - Senin, 16 September 2024 20:35 WIB
266 view
BPS Catat Deflasi Agustus 2024 Sebesar 0,03 Persen, Tanda Daya Beli Melemah
Foto: SNN/Dok
Diskusi dampak sosial dan ekonomi dari gerakan boikot.
Jakarta (harianSIB.com)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar 0,03 persen pada Agustus 2024. Ini merupakan deflasi keempat berturut-turut sejak Mei 2024.

Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Terbuka, Afaqa Hudaya, menilai tren deflasi ini bisa menjadi tanda melemahnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah.

Baca Juga:

"Ini harus jadi perhatian pemerintah karena menunjukkan tantangan ekonomi yang cukup serius," ujarnya, sebagaimana pres rilis yang diterima harianSIB.com, Senin (16/9/2024).

Data BPS menunjukkan, deflasi terjadi mulai Mei sebesar 0,03 persen, Juni 0,08 persen, Juli 0,18 persen, dan kembali 0,03 persen pada Agustus. Beberapa komoditas yang menyumbang deflasi di bulan Agustus antara lain bawang merah, daging ayam, tomat, dan telur ayam.

Baca Juga:

Afaqa menjelaskan, deflasi yang berkelanjutan menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menahan pengeluaran untuk menjaga daya beli. Hal ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Perlambatan ini juga terlihat dari penurunan indeks PMI manufaktur Indonesia yang hanya mencapai 48,9 pada Agustus 2024, menandakan sektor manufaktur sedang dalam tahap kontraksi.

Penurunan indeks PMI ini juga memicu kekhawatiran akan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur, yang pada akhirnya dapat memperburuk angka pengangguran.

Selain itu, Afaqa menyoroti adanya persaingan usaha yang tidak sehat di tengah menurunnya daya beli.

"Perusahaan akan semakin agresif menjual produknya, sementara konsumen akan semakin selektif," jelasnya.

Persaingan seperti ini bisa memperburuk kondisi ekonomi nasional, dengan potensi PHK sebagai dampak dari efisiensi biaya.

BPS juga mencatat penurunan jumlah kelas menengah yang signifikan, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Banyak dari mereka berada dalam posisi rentan jika terjadi guncangan ekonomi.

Dari sisi kebijakan moneter, suku bunga Bank Indonesia tetap berada di atas 6 persen sepanjang tahun ini. Pada Agustus 2024, suku bunga tercatat sebesar 6,25 persen. Afaqa menyarankan agar Bank Indonesia mempertimbangkan penurunan suku bunga sebesar 25-50 basis poin untuk mendorong investasi dan belanja rumah tangga.

"Penurunan suku bunga diharapkan bisa menggerakkan kembali ekonomi nasional," kata Afaqa.

Ia juga menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk menjaga ekonomi agar tidak semakin terpuruk.

Sebelumnya, bahasan terkait persaingan usaha tidak sehat juga sempat disinggung Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta, M. Muslich KS. Dia mengungkapkan saat ini persaingan usaha tidak sehat itu dilakukan dengan menunggangi isu boikot yang saat ini menjadi gerakan massal.

Dia memina masyarakat untuk berhati-hati dan tidak asal ikutan dalam mengikuti seruan boikot tersebut. Sebab, sambung dia, boikot dapat menjadi bumerang bagi Indonesia jika tidak dilakukan secara seksama dan terukur.

"Dalam konteks isu (boikot) jangan ada korban kalau bisa. Tapi strategi boikot itu kita pola sedemikian rupa sehingga menjadikan isu itu tidak menjadi sesuatu bumerang bagi kita," kata Muslich, dalam sebuah diskusi. (*)

Editor
: Donna Hutagalung
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru