Jakarta (SIB)
Presiden Amerika Serikat Joe Biden memerintahkan
militer Amerika Serikat untuk mengerahkan "
aset-aset pertahanan" baru di
Timur Tengah. Ini dilakukan setelah
Iran dan kelompok
Hizbullah bersumpah untuk membalas dendam terhadap
Israel dan "mereka yang berada di balik" pembunuhan dua petinggi
Hizbullah dan
Hamas.
"Presiden membahas upaya untuk mendukung pertahanan
Israel terhadap ancaman-ancaman, termasuk terhadap rudal balistik dan drone, dengan mencakup pengerahan militer AS yang baru untuk pertahanan," kata Gedung Putih dalam pernyataan tentang percakapan telepon antara Biden dan Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu, dilansir Al Arabiya, Jumat (2/8), seperti yang dilansir Koran SIB.
Rencana baru tersebut disusun selama pertemuan mingguan antara menteri pertahanan AS, ketua Kepala Staf Gabungan, dan komandan Komando Pusat Amerika Serikat (CENTCOM) sebagai tanggapan atas kemungkinan serangan balasan oleh
Iran dan
Hizbullah. Demikian disampaikan sumber yang mengetahui perencanaan tersebut kepada Al Arabiya English.
Baca Juga:
Gedung Putih mengatakan, sementara Biden menekankan komitmen AS untuk membantu pertahanan
Israel, ia juga "menekankan pentingnya upaya berkelanjutan untuk meredakan ketegangan yang lebih luas di kawasan tersebut."
SIAGAKAN 12 KAPAL PERANG
Pembunuhan para pejabat senior kelompok
Hizbullah dan
Hamas hanya berselang beberapa jam, telah mendorong
Iran dan proksi-proksinya bereaksi terhadap dua operasi yang dituduh telah dilakukan
Israel.
Baca Juga:
Amerika Serikat (AS), sebagai sekutu
Israel pun bersiap menghadapi potensi eskalasi konflik. Terlebih, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (2/8), Washington dipandang ikut terlibat karena mendukung
Israel dengan intelijen dan persenjataan. Dukungan ini dimanfaatkan oleh
Iran dan
Hizbullah untuk mengancam aset-aset yang ada di kawasan
Timur Tengah.
"Kami sedang mempersiapkan semua skenario, potensi evakuasi warga Amerika dari kawasan tersebut atau serangan terhadap pasukan kami," ucap seorang pejabat AS, yang enggan disebut namanya, kepada Al Arabiya English.
Pentagon memerintahkan sejumlah kapal perang dan aset militer AS lainnya bergerak ke
Timur Tengah tak lama setelah serangan mengejutkan
Hamas terhadap
Israel pada 7 Oktober tahun lalu. Alasan utamanya, menurut pejabat AS itu, adalah mencegah
Iran atau kelompok lain yang didukungnya membuka front kedua.
Pejabat AS tersebut mengonfirmasi bahwa sedikitnya ada 12 kapal perang Amerika di kawasan itu, termasuk kapal induk USS Theodore Roosevelt, dan lebih dari 4.000 personel marinir dan pelaut AS. The Washington Post menjadi media pertama yang melaporkan jumlah kapal dan personel militer tersebut.
Namun demikian, aset-aset tersebut yang mencakup kapal-kapal penghancur dan kapal amfibi, telah berada di wilayah tersebut selama berbulan-bulan.
"Belum ada perintah baru secara khusus, apakah itu evakuasi atau lainnya. Tapi kami jelas berada dalam posisi untuk melaksanakan, sesuai kebutuhan, setiap perintah yang diberikan," ujar salah satu pejabat AS lainnya, yang enggan disebut namanya, saat berbicara kepada Al Arabiya English.
Departemen Luar Negeri AS telah mengimbau setiap warga negara Amerika untuk tidak bepergian ke Lebanon atau
Israel bagian utara saat ketegangan antara
Hizbullah dan Tel Aviv terus meningkat. Beberapa maskapai penerbangan juga membatalkan penerbangan tujuan kedua negara tersebut.
Namun sejauh ini belum ada keputusan yang diambil untuk mengevakuasi warga negara atau pegawai pemerintah AS dari kedua negara itu.
Bersiap Hadapi SeranganPara pejabat Washington mengungkapkan mereka telah diberi informasi sesaat sebelum operasi militer
Israel yang menewaskan komandan
Hizbullah, Fuad Shukr, di Beirut, Lebanon. Namun AS membantah telah memainkan peran apa pun dalam serangan tersebut.
Tel Aviv telah mengaku bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan Shukr di pinggiran selatan Beirut, dan menyebut serangan itu merespons serangan roket yang menewaskan 12 orang di Dataran Tinggi Golan pada akhir pekan, yang diyakini didalangi oleh
Hizbullah -- meskipun kelompok itu membantah.
Pasukan AS yang ada di kawasan itu bersiap menghadapi potensi serangan terhadap posisi mereka di wilayah Irak dan Suriah usai serangan
Israel tersebut.
"Ini adalah modus operandi mereka, jadi kami mengantisipasi
Iran atau kelompok yang didukungnya akan mengeluarkan perintah untuk menargetkan pasukan kami. Itu adalah apa yang telah mereka lakukan di masa lalu dan apa yang kami harapkan sekarang," ucap salah satu pejabat AS tersebut.
Potensi eskalasi meningkat setelah operasi kedua terjadi ketika pemimpin biro politik
Hamas, Ismail Haniyeh, terbunuh dalam serangan di
Iran. Haniyeh berada di negara itu dalam rangka menghadiri seremoni pelantikan Presiden baru
Iran, Masoud Pezeshkian.
Para pejabat AS meyakini
Israel mendalangi pembunuhan Haniyeh dan menegaskan Washington tidak turut terlibat.
Shukr dan Haniyeh telah ditetapkan sebagai teroris oleh pemerintah AS, dan keduanya dituduh berperan penting dalam pengeboman Barak Korps Marinir AS di Beirut pada 23 Oktober 1983 silam, yang menewaskan 241 tentara AS.
Baik
Hizbullah,
Hamas dan pendukung utama mereka di
Iran, serta proksi-proksi regional lainnya yang didukung Teheran, semuanya telah bersumpah untuk merespons serangan yang menewaskan Shukr dan Haniyeh.
Wakil Presiden Keterlibatan Internasional pada Institut
Timur Tengah, Paul Salem, memperkirakan
Hizbullah dan
Iran pasti akan membalas. "Dan sulit membayangkan bahwa mereka akan membidik apa pun kecuali target bernilai tinggi di Tel Aviv untuk menunjukkan kesimetrisan setelah serangan di Teheran dan Beirut. Hal ini akan mengakibatkan eskalasi otomatis dan besar," ujarnya.
Batalkan penerbangan
Sementara itu, tiga maskapai penerbangan AS dan Inggris membatalkan penerbangan ke
Israel pada Rabu (31/7) sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan keamanan di kawasan tersebut.
Radio Angkatan Darat
Israel melaporkan bahwa maskapai penerbangan AS, United Airlines dan Delta Air Lines, memutuskan untuk pindah setelah pembunuhan komandan senior
Hizbullah Fuad Shukr pada Selasa (30/7).
Harian Yedioth Ahronoth
Israel juga mengonfirmasi bahwa British Airways telah mengumumkan penangguhan penerbangannya ke
Israel.
"United Airlines, yang mengoperasikan 14 penerbangan mingguan ke Tel Aviv, memberi tahu pelanggan tentang pembatalan penerbangan untuk beberapa hari mendatang," kata surat kabar tersebut.
"Delta membatalkan penerbangan hari Rabu dan Kamis dari New York," tambahnya.
Surat kabar itu mencatat bahwa "British Airways juga mengumumkan pembatalan, meskipun tidak jelas apakah itu untuk 24 atau 48 jam ke depan."
Pada Senin, Austrian Airlines dan Lufthansa dari Jerman juga menangguhkan penerbangan dari dan ke Bandara Ben Gurion di Tel Aviv. (**)