Medan (harianSIB.com) Anggota DPD RI terpilih
Pdt Penrad Siagian STh mengingatkan
DPR RI untuk menghentikan merevisi Undang-undang (UU) No34/2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebab substansi perubahan tidak memperkuat agenda reformasi TNI yang profesional. Tapi sebaliknya akan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.
"Menelaah revisi UU No34/2004 ini, terdapat pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan
Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Hal ini perlu menjadi perhatian
DPR RI, jangan sampai revisi UU tersebut justeru mengkhianati agenda reformasi," ujar Penrad Siagian kepada SIB News Network, Selasa (16/7/2024) melalui WhatsApp dari Jakarta.
Menurut senator terpilih Dapil Sumut ini, substansi perubahan usulan pemerintah yang dibahas
DPR RI, tidak memperkuat agenda reformasi TNI yang semakin profesional, malah sebaliknya sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.
Baca Juga:
Penrad yang juga dikenal aktivis 98 tersebut menambahkan, beberapa alasan pentingnya menolak revisi UU TNI tersebut, yakni, pertama, tidaklah tepat kalau hanya memperluas fungsi TNI mencakup keamanan negara.
"Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja memberikan keleluasaan kepada militer masuk dalam urusan keamanan dalam negeri. Hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan militer seperti di masa rezim Orde Baru," katanya.
Baca Juga:
Kedua, katanya, pencabutan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan tersebut seharusnya tidak boleh dicabut, karena dalam Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, hasil amandemen menyatakan, bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, kata Penrad, Pasal 14 UU No3/2022 tentang pertahanan negara menegaskan, Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.
"Menghapus kewenangan Presiden berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi menata hubungan sipil-militer yang demokratis," katanya.
Ketiga, ujar pendeta GBKP ini, perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih
Operasi Militer Selain Perang (OMSP) juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan, dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.
"Jika usulan perubahan ini disetujui, hal ini berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," tandasnya.
Keempat, tambah Penrad, perluasan usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya dwi fungsi TNI.
"Upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," jelas Penrad.(**)