Jakarta (harianSIB.com)
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berharap Badan Urusan Logistik (Bulog) menjelma menjadi Indonesia Trade Companya.Tugasnya sebagai pengatur tata niaga komoditas pangan di Indonesia sekaligus mengantisipasi kelangkaan.
LaNyalla Mattalitti menyatakan hal itu saat hadir sebagai keynote speech diskusi publik Indonesian Consumer Club dengan tema "Antisipasi Kenaikan Bahan Pokok Penting Menjelang Bulan Suci Ramadan dan Idul Fitri 1443 H", Senin (21/3/2022).
Pada kesempatan itu hadir Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Rizal E. Halim, Komisioner BPKN Ermanto Fahamsyah, Direktur Barang Kebutuhan Pokok Kemendag Isy Karim, Dirjen Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto, Direktur Suplay Chain Bulog Mokhamad Suyamto, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia Wahyu Banten Timur dan Ketua Satgas Pangan Polri Irjen Pol Helmy Santika.
LaNyalla dalam siaran persnya diterima wartawan termasuk jurnalis Koran SIB Jamida Habehan, Rabu (23/3/22), menegaskan, Indonesia masih menghadapi masalah kenaikan harga komoditas sembako setiap menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Belakangan ini juga disibukkan dengan urusan hilangnya minyak goreng di pasaran, setelah sebelumnya sudah ada persoalan cabe rawit, kedelai, dan lainnya.
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, negara seharusnya hadir sesuai pemikiran para pendiri bangsa yang termaktub di Pasal 33 Ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945.
"Intinya tertulis jelas yang dimaksud dengan ‘Perekonomian Disusun Atas Usaha Bersama Atas Dasar Kekeluargaan’ adalah ekonomi dari semua untuk semua," katanya.
Faktanya sekarang ini, kata dia, negara menyerahkan kepada mekanisme pasar. sehingga rantai distribusi menjadi panjang, dan tengkulak tetap saja mengambil keuntungan. Belum lagi pemain impor komoditas yang orangnya itu-itu saja. Ditambah lagi komoditas tersebut diatur melalui harga pasar Internasional.
LaNyalla mencontohkan kedelai yang masuk dalam salah satu komoditas yang diperdagangkan di bursa komoditas C.B.O.T atau Chicago Board of Trade. Otomatis harga akan tergantung pasar sesuai demand and supply.
"Karena sistem ini dibiarkan maka pemerintah tidak bisa mengintervensi harga market. Yang bisa dilakukan hanya dengan mengatur tata niaga impor kedelai, agar produksi petani tidak jadi korban harga pasar. Atau minimal ongkos produksi bisa kembali, walaupun tidak mudah," ujarnya.
Menurut LaNyalla, pemerintah kesulitan mengatur tata niaga, karena sudah begitu kokohnya mekanisme pasar yang tersusun bukan disusun oleh negara. Padahal, demand kedelai begitu besar, baik untuk kebutuhan pangan maupun pakan ternak dan industri lainnya.
Tetapi, produksi nasional tidak pernah bisa mencukupi. Menjadi pertanyaan lagi, mengapa tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk membenahinya. Hal ini menyangkut uang puluhan triliun setahun dari impor dan fee yang tidak kecil.
Karena itu, untuk membenahi persoalan tersebut, Bulog harus diberi peran besar sebagai perusahaan negara yang mendapat tugas suci dan dibekali senjata yang cukup untuk melaksanakan perannya. Bukan malah sebaliknya, diminta untuk menyerap produk dalam negeri, tetapi di sisi lain harus hidup sebagai sebuah sector privat yang harus menghasilkan deviden.
"Bulog harus bisa menghapus pemain-pemain rente impor dan uang fee yang mengalir ke elit kekuasaan. Bulog harus bisa melakukan kontrak hedging di pasar future komoditas pangan agar terhindar dari kerugian akibat kenaikan harga di pasar dunia," ucap LaNyalla. (*)