Komite Advokasi Daerah (KAD) Anti Korupsi sebagai perpanjangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah hadir di Sumut. Para pengurus nya pun telah dilantik di rumah dinas gubernur, Kamis (27/8/2020) diketuai M Santri Sinaga. Mereka mayoritas terdiri dari para pengusaha jasa konstruksi, Kadin, Organda, PHRI dan lainnya serta unsur birokrasi.
Pembentukan KAD adalah tuntutan UU KPK Pasal 6 yang menyebutkan bahwa salah satu tugas KPK adalah pencegahan dan wadahnya adalah KAD. Jadi meskipun KAD tetap dalam pendampingan KPK tetapi tugasnya bukan melakukan penindakan. KAD yang diinisiasi KPK dan Kadin ini bertugas melakukan pencegahan sebelum terjadinya korupsi.
Dalam kaitan inilah maka para pengurusnya banyak diisi para pengusaha swasta yang selama ini banyak mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Mereka tentu saja sudah banyak tahu tentang seluk beluk terjadinya KKN, mulai dari proses tender hingga penunjukan pemenang, pelaksanaan dan penagihan/pembayaran. Apalagi para pengusaha jugalah yang selama ini banyak sebagai pelaku dan sekaligus juga sebagai korban korupsi, yang menurut Ketua KAD Sumut, 80 persen korupsi itu dari pihak swasta.
Selain pihak pelaku usaha dan asosiasi pengusaha sebagai pengurus, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan Ketua Umum Kadin Sumut Ivan Iskandar Batubara (Ex Officio) ditetapkan sebagai pembina. Jadi sudah jelas bahwa yang mengisi kepengurusan KAD adalah pemberi kerja (Gubernur) sebagai pembina dan para pelaksana kerja (pengusaha) sebagai pengurus yang selama ini bekerjasama dalam pembangunan Sumut.
Perilaku korupsi selama ini memang sudah seperti menjadi budaya, apalagi di Sumut. Sehingga data yang dikeluarkan KPK baru-baru ini dari 10 daerah angka korupsi tertinggi dalam lima tahun terakhir, Sumut menempati posisi keempat secara nasional dengan 64 kasus. Lebih tinggi (hanya beda 3 kasus) dari DKI Jakarta dengan 61 kasus. Sedangkan urutan teratas adalah pemerintah pusat dengan 359 kasus.
Ditengarai, bukan hanya dalam pelaksanaan proyek-proyek besar di pemerintahan dan BUMN/BUMD terjadi korupsi, tetapi juga dalam pelaksanaan pemerintahan mulai dari tingkat Kepling, Kelurahan hingga tingkatan lebih tinggi dan bahkan di lembaga legislatif juga sudah terbukti pernah dilakukan secara berjamaah. Selain itu juga banyak diberitakan terjadinya perilaku korupsi di dunia pendidikan, apalagi dalam penyaluran dana BOS dan kutipan-kutipan kepada siswa.
KPK tentu berharap bahwa kehadiran KAD akan membantu mereka mencegah terjadinya korupsi di daerah. Namun melihat kepengurusan KAD yang sudah dilantik, apa yang diharapkan KPK kelihatannya bakal sulit tercapai. Namun kita harapkan KAD jangan sampai dijadikan tameng untuk melindungi para pelaku korupsi di kalangan dunia usaha yang selama ini sudah banyak terjadi. Sehingga jangan sampai ada maling teriak maling dalam proses pencegahan korupsi di Sumut.
Pembentukan KAD itu memang bertujuan baik, namun harus didukung orang-orang yang selama ini bersih dari KKN. Sejauh ini tidak dijelaskan bagaimana KPK merekrut para pengurus, tetapi tiba-tiba sudah muncul pemberitaan acara pelantikan.
Jumlah pengurusnya cukup banyak dan umumnya adalah pengurus-pengurus asosiasi pengusaha. Sepertinya asal main tunjuk saja tanpa meminta masukan masyarakat bagaimana perilaku mereka selama ini dalam berusaha. Apakah mereka pernah menerima maupun memberikan suap, berkolusi memenangkan tender atau sering menerima uang mundur untuk memenangkan rekanan tertentu, tidak melaporkan rerjadinya KKN dan perilaku korup lainnya yang bertentangan dengan hukum serta merugikan negara.
Jika kepengurusan tidak selektif maka apa yang diharapkan tidak akan tercapai. Sehingga lembaga baru yang seharusnya membantu KPK melakukan pencegahan korupsi ini malah akan menjadi lembaga "lip service" dalam penanganan korupsi. Semoga tidak menjadi lembaga tempat persembunyian para pelaku kolusi dan korupsi di Sumut.(*)