Plagiarisme kembali menjadi perhatian publik. Pasalnya, terjadi di perguruan tinggi negeri yang cukup memiliki nama di Indonesia. Dulunya kampus tersebut sebagai produsen guru-guru terbaik bagi bangsa ini. Setelah berubah menjadi universitas, ternyata ada skandal plagiarisme di balik banyak lulusan dari latar belakang pejabat.
Padahal, harusnya perguruan tinggi memiliki tanggungjawab yang besar untuk memberikan edukasi dan sosialisasi terkait dengan pencegahan tindakan plagiarisme. Hal ini mengingat perguruan tinggi merupakan salah satu produsen ilmu pengetahuan. Melalui tulisan ini diharapkan anggota civitas akademika (mahasiswa, dosen dan staf kependidikan) mampu menghasilkan karya tulis yang berkualitas dan terhindar dari unsur plagiarime.
Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. KBBI menyebutkannya sebagai penjiplakan yang melanggar hak cipta. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain.
Pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan Permendiknas No 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Bagi yang melanggar, bisa berakibat fatal, dengan dibatalkannya ijazahnya. Jika pelakunya dosen, maka bisa diberhentikan secara tidak hormat dari posisinya.
Plagiarisme bukan hanya di Indonesia. Menurut penelitian yang dipublikasikan jurnal ilmiah, Plos One, sebanyak 2 persen ilmuwan di Amerika Serikat mengaku memanipulasi data setidaknya sekali dalam karirnya. Lalu 14 persen mengaku menyaksikan rekannya melakukan kebohongan, plagiarisme atau malpraktik. Jerman, Inggris, dan Perancis menghadapi masalah yang serupa. Sebanyak 8-10 persen tulisan ilmiah terbukti mengandung plagiarisme.
Perbuatan yang masuk kategori plagiarisme, antara lain, pertama, mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya. Kedua, menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya. Ketiga, menggunakan fakta (data, informasi) milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
Keempat, mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Kelima, melakukan parafrase (mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa mengubah idenya) tanpa menyebutkan identitas sumbernya. Keenam, menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan /atau telah dipublikasikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai karya sendiri.
Dari beberapa kasus plagiarisme, pelaku berdalih terpaksa melakukannya. Mereka menyebutkan terbatasnya waktu untuk menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang menjadi beban tanggungjawabnya sehingga terdorong untuk copy-paste atas karya orang lain. Lalu, rendahnya minat baca dan minat melakukan analisis terhadap sumber referensi yang dimiliki. Terakhir, kurangnya pemahaman tentang kapan dan bagaimana harus melakukan kutipan.
Sosialisasi terkait dengan UU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dan Permendiknas No. 17 Tahun 2010 perlu dilanjutkan kepada seluruh masyarakat akademis. Harus ada budaya malu jika melakukan plagiarisme. Lebih baik berkeringat dalam menuliskan karya ilmiah, malu akibat ijazah dibatalkan karena ketahuan menjadi plagiator.
(**)