Jakarta (SIB)
Sejumlah aksi terorisme yang belakangan terjadi menunjukkan bahwa perempuan rentan dilibatkan. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Ratna Susianawati mengatakan, pelibatan perempuan dalam peristiwa teror di Indonesia meningkat.
"Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukkan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini," kata Ratna melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (3/4).
Menurut Ratna, hal itu dipicu faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya menjadi pelaku. Ia menambahkan, kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi ekstremisme.
"Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu," ujarnya.
Oleh karena itu, Ratna menilai perlu ada ketahanan dalam keluarga salah satunya dalam hal pengasuhan anak dan strategi komunikasi yang baik. Hal itu bertujuan untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya.
Menurut dia, ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik dibutuhkan sebagai fondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga. "Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru," ungkapnya.
"Orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami," ucap dia.
Terkait penanganan masalah terorisme dan radikalisme di Indonesia, Ratna menuturkan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri tetapi perlu bantuan dari semua pihak termasuk elemen masyarakat.
Dalam sepekan terakhir telah terjadi dua peristiwa teror di Indonesia. Pelaku berinisial L berusia 26 tahun dan istrinya, YSR, melakukan teror bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3) pagi. Kemudian, perempuan berinisial ZA menjadi pelaku penyerangan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3).
ZA diketahui berusia 25 tahun. Pelaku bom bunuh diri di Makassar diduga merupakan jaringan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi ke Negara Islam di Irak dan Suriah atau Islamis State of Iraq and Suriah (ISIS). Sementara, pelaku teror di Mabes Polri diduga pendukung ISIS. Dugaan itu berasal dari hasil pendalaman polisi yang menemukan unggahan bendera ISIS di akun Instagram milik pelaku. (Kps/a)
Sumber
: Hariansib.com edisi cetak