A A Istri Putri Dwi Jayanti, atau akrab dipanggil Gektri (20) salah satu Putri Sulamit dari Bali, Minggu (30/4) menggelar sebuah event sosial yang bertajuk "Deaf Talk". Kegiatan ini mengundang beberapa anak tuli dari komunitas Deaf Talk Bali dan melakukan sesi untuk menyemangati mereka agar dapat berkarya seperti kaum dengar pada umumnya.
Program yang diprakarsai Gektri, dan didukung sepenuhnya oleh Program Putri Sulamit ini, diharapkan akan berjalan secara teratur menggandeng komunitas-komunitas yang ada di Bali. Acara "Deaf Talk" yang dibawakan oleh Gektri ini diadakan di Taman Jepun. Dihadiri sebanyak 30 anak tuna rungu/kaum tuli serta sejumlah rekan media dan tim Program Putri Sulamit ikut berbaur dengan komunitas kaum tuli ini.
Meski sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya sebagai MC Freelance, Gektri tetap menunjukkan kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas khususnya tunarungu. "Sekarang saya kuliah semester VIII di Universitas Udayana Bali. Selain kuliah saya juga nge-MC freelance di salah satu media, tapi saya juga aktif di organisasi dalam hal kegiatan sosial contohnya saya terlibat projek Bali Deaf Community," kata Gektri.
Jiwa sosial ini sudah tertanam dalam diri Gektri sejak kecil, bahkan saat masih di bangku SMP ia sering terlibat dalam organisasi yang aktif menjalankan program berkaitan dengan pelestarian budaya, pelestarian lingkungan dan kegiatan sosial lainnya. "Karena sebelumnya saya memang suka di bidang sosial, saya suka anak-anak dan saya suka berkegiatan sosial dalam artian bertemu dengan anak-anak panti dan juga kaum disabilitas," kata Gektri.
Ia menceritakan, pada 2 Mei 2016 lalu dalam suatu pertemuan Gektri dan rekannya membentuk sebuah ide ia menjadi relawan dalam sebuah gerakan-gerakan sosial untuk mengasuh anak-anak yang tidak mampu. Anak-anak dari latar belakang keluarga tidak mampu sehingga terpaksa putus sekolah.
Lantaran prihatin terhadap generasi penerus yang tidak punya bekal pendidikan, sehingga gerakan Kakak Asuh ini fokus pada pendidikan atau bekal sekolah anak. "Kita sudah mengumpulkan banyak adik asuh dan adik asuhnya itu kita survey atau observasi ke daerah di Bali dan paling banyak kita temukan di Kalang Asem," katanya.
Kakak Asuh Bali yang terlibat adalah kaum muda yang ada di Bali, mereka ini yang memberikan dana untuk membantu adik asuh mereka. "Jadi kita dalam satu bulan mengumpulkan Rp 20 ribu per orang, dimana dalam satu kelompok ada lima orang. Itu untuk bekalnya 1 bulan jadi kita fokus sama bekal sekolah karena motivasi untuk anak-anak itu.
Selain itu kita memberikan pengajaran kepada mereka terkait hal-hal pendidikan yang tidak mereka dapatkan di sekolah contohnya ekstrakurikuler dalam hal budaya Bali, Kesenian daerah Bali dan lain-lain sebagainya untuk memotivasi mereka supaya percaya diri," jelasnya.
Dengan latar belakang pendidikan jurusan Komunikasi berbanding lurus dengan karakternya yang senang mendalami hal-hal berbau. Gerakan Kakak Asuh Bali sering dipertemukan dengan Bali Deaf Community. Bahkan di Bali ada perkumpulan Putra Putri Tuli yang diprakarsai Ibu Wali Kota Denpasar berpusat di Kota Denpasar itu. Suatu wadah perkumpulan orang-orang tuli di Bali, mereka tidak menyebutnya tunarungu.
"Karena orang-orang tuli di Bali ini beda dengan tunarungu, kalau orang tunarungu itu bukan bawaan sejak lahir tapi saat ia mulai tumbuh mengalami keterbatasan itu. Sedangkan kalau tuli dia, memang dari lahir," kata Gektri. Persepsi yang berbeda tentang tunarungu dan tuli ini tertanam dalam pikiran kaum tuli di Bali.
Mereka enggan disebut tunarungu karena mereka merasa bahwa mereka terlahir apa adanya dan tidak kekurangan sama halnya dengan kaum dengar. "Itu membuat saya tersentuh dan sebenarnya saya ingin menggabungkan dua kegiatan antara Kakak Asuh Bali, Adik Asuh dengan putra putri tuli tapi menurut saya di putra putri tuli ini lebih perlu sentuhan kita. Karena mereka jarang ada yang memperhatikan khususnya kaum dengar," jelas Gektri.
Menurut Gektri, masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana budaya tuli karena umumnya kita belum mengenal ciri-ciri mereka seperti apa. Dan masih kurang mengenal istilah Bisindu atau Bahasa Isyarat Indonesia yang dibuat oleh kaum tuli. Jadi beda halnya dengan SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia) yang menggunakan satu jari, sedangkan bahasa isyarat ini dibuat oleh kaum tuli khusus. "Jadi itu hal yang membuat saya tertarik juga meningkatkan kesetaraan di Bali karena mereka sendiri. Ketika semua fokus pada pendidikan di Bali sangat kurang dan lain-lain sebagainya tapi pernah nggak kalian mikir bahwa kita kaum tuli ini tidak dianggap," jelasnya.
Kaum tuli dianggap disabilitas yang tidak mendapatkan pekerjaan, bahkan sulit masuk ke perguruan tinggi seperti kaum dengar pada umumnya. Di Bali, kata Gektri, kaum tuli hanya sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
"Saya ingin mengubah persepsi masyarakat khususnya di Bali tentang tuli itu seperti apa, kemudian juga bagaimana cara kita bisa saling bertoleransi padalah pemikiran mereka sama, maksudnya sama seperti kaum dengar, mereka tidak kekurangan tetapi mereka dilahirkan memang fisik seperti, itu," ujar Gektri.
(MK.co.id/f)