"Udah sampe di mana bahasan kita?" Pertanyaan yang dilontarkannya ketika pertama kali tiba sejak seminggu tak bertemu. Vivi hanya terdiam, bingung. Apa lagi yang harus diperpanjang sebagai bahasan lanjutan.
"Aku takut kau tinggalkan, bisakah hal itu jangan lagi dibahas?"
Matanya terlihat sayu. Baru kali ini terpampang wajah memelas di hadapannya dan lihatlah air mata Vivi yang menetes tepat di punggung telapak tangannya itu sudah meruntuhkan batu besar yang tak tergoyahkan itu. Lagi-lagi dia hanya bisa memberi maaf, memberi pengertian bahkan masih menawarkan kesempatan. Kalau dihitung, siapa yang sudah tahu kalau ini adalah kesempatan kesekian. Jemari bahkan sudah tak cukup kalau harus dipakai sebagai alat hitungnya.
"Mau agar-agar? Kubuat rasa coklat kesukaanmu tadi."
Tak ada jawaban ataupun anggukan, tapi Vivi dengan santai berjalan menuju dapur mengambil beberapa potong agar-agar berwarna coklat tua. Dari tampilannya pastilah sangat sedap. Takkan habis lima menit untuk menyantapnya. Lagi-lagi mereka kembali bahagia, seperti biasa ada senyum sambil ucap terima kasih.
***
Gelap mulai menyapa, dia ternganga. Pesan ini benar-benar mengejutkan. Sukses membuat terpana.
"Aku cinta kamu!"
Kalimat yang selalu dinantikannya. Ada angin apa dia mengucapkannya? Tidak mungkinlah kalau hanya sekedar memberi harapan apalagi sebagai kata ganti maaf. Mungkin cinta itu memang sudah mulai tumbuh.
"Nanti, kamu bisa jemput aku?"
"Aduh, gak bisa Vi, tapi nanti kuusahakan ya."
Pertama kali kejadian dia menolak sejak Vivi bilang kalau dia juga cinta.
"Kenapa gak bisa?"
"Maaf Vi aku ada kerjaan loh."
"Jadi aku gimana? Harus pulang sama siapa? Gak ada yang bisa jemput. Kamu tahu sendiri angkot ke rumah udah gak ada kalau malam."
Pesannya berhenti tanpa balasan dan Vivi lebih memilih diam. Sepertinya dia mencoba berubah sejak tahu Vivi cinta, atau bisa jadi dia hanya ingin balas dendam saja. Detik terus berjalan hingga tiada tenaga untuk menghitung. Seminggu lebih tiada tatap apalagi pertemuan dengan suasana romantis. Dia terlalu sibuk sementara Vivi mulai disinggahi rindu. Sebuah rindu yang harus menawarkan ragu.
"Aku rindu kamu."
Berulang pesan itu dibaca, berulang dikirim. Semua laporan terkirim tanpa balasan apa pun. Coba dipanggil tiada jawab hingga ragu itu semakin terbungkus rapi dan tergeletak di tepi hati Vivi yang mulai hancur.
"Kamu di mana? Kok gak balas pesan-pesanku?"
Pesan yang sama lagi-lagi dikirim berulang. Semua sms gratis habis tanpa sisa. Besoknya diedit lalu dikirim lagi. Masih sama, tiada jawab. Esoknya diedit lagi, kalimat yang berbeda dengan tujuan yang sama dan lagi-lagi masih nihil jawabannya.
Setahun bukanlah waktu yang singkat hanya untuk menanyakan apa kabar tanpa jawaban baik atau sakit. Tapi, Vivi masih tetap berusaha, belum bosan, tidak bosan, dan kelihatannya takkan pernah bosan.
***
Vi, nanti aku main ke rumahmu, bisakan Vi?"
"Bisa, asal dengan tujuan jelas. Gak ada maksud yang lain-lain."
"Kan kok gitu kali Vi? Udah tobat kau ya. Dulu aja masih punya pacar masih mau jalan-jalan samaku, sekarang udah jomblo aja pun masih sok nolak." Tawa playboy itu seakan mengejek entah apalah, terserah dia aja. Vivi kelihatannya sudah tidak perduli.
"Eh, jangan sembarangan. Siapa juga yang jomblo, aku calon istri orang ya."
"Calon istri siapa pulak kau?"
"Udahlah, gak usah datang kau nanti ya. Buat emosi aja pun kau."
"Sadis kali bah. Mau bertamu aja udah gak ada izin."
Pasti ada yang salah dengan hati Vivi, sepertinya dia tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Dasar cewek melankolis. Hal-hal yang gak pernah dilakukan pun sudah terjadi. Update status sepuluh kali dalam jangka waktu lima menit? Benar-benar galau tingkat akut. Batu yang keras dulu seakan terlihat seperti coklat kena sinar matahari, melumer. Hatinya luluh lantak seperti daun-daun di musim gugur. Menangis, kata kerja terbaik yang dia tahu sekarang ini. Vivi ragu akan penantiannya, akankah membawa bahagia atau bahkan hanya akan menyisakan luka sebagai kenangan?
"Fotun, kau di mana?â€
Status tergalau yang pernah muncul di jejaring sosial miliknya. Lihat saja komentar-komentar yang bermunculan itu. Tak satupun yang menarik hati Vivi untuk dijawab Dia hanya mau ada komentar Fortun di dalamnya. Dia hanya mau ada komentar berisi alamat Fortun yang bisa dia kunjungi nanti.
***
Menangis benar-benar pekerjaan yang membuat lelah. Berat badannya turun drastis karena memikirkan Fortun.
"Cukup sudah, aku mau move on."
Status terbaru yang di-update setelah menggalau dalam sebulan penuh. Tak mau lagi jadi budak cinta. Dia hanya ingin sukses menikmati sepi yang teramat pilu itu. Ponsel sudah tidak menjadi kebutuhan lagi untuk saat ini. Tak ada lagi pesan yang diharapkannya. Fortun sudah menghilang, sembunyi dengan sengaja setelah berhasil mencuri dan membawa hati Vivi lari entah kemana.
Ada pesan masuk, tapi kelihatannya mata Vivi yang sudah lima watt tak mampu lagi membaca huruf demi huruf dengan jelas sehingga tak bisa diambil makna kalimat-kalimat itu. Dia lebih memilih tidur. Dengan lelap. Deringan ponsel sudah tak mampu membangunkannya. Dia sering mendekam dalam gelapnya malam. Dia suka karena akan terbebas sejenak dari semua beban hati yang menghimpitnya.
***
"Vivi."
Nomor baru itu memanggil namanya begitu lembut, bahkan semakin lembut. Tapi nadanya masih belum berubah. Suara itu pun tak asing. Fortun.
"Ke mana aja selama ini?"
Setengah terisak dia mengucapkannya. Bahkan orang di seberang sana pasti takkan mendengar jelas apa yang diucapkan Vivi.
"Pertanyaanmu akan kujawab nanti setalah kamu jawab pertanyaanku."
Pertemuan yang mengharukan di ruang tengah rumah sederhana itu benar-benar menguras air mata.
"Kenapa gak pernah balas pesan-pesanku?"
"Entah kenapa, aku pengen aja kamu tetap kirimi aku pesan seperti itu."
"Itu karena aku bertahan. Gimana kalau aku gak sanggup bertahan dan menyerah? Kamu pasti akan kehilangan aku selamanya."
"Aku tahu kamu tidak akan menyerah. Aku sengaja untuk melihat seberapa besar cintamu dan rindumu bertahan menjadi milikku."
"Vi, aku bisa bertanya?"
"Ya bisalah, apa pertanyaannya biar langsung kujawab."
"Mau gak hidup bersama denganku selamanya, menikah denganku Vi."
Petir seakan menyambar, Vivi kaget setengah mati. Entah jawaban apa yang akan diberikan.
"Kenapa Vi? Kau ragu?"
"Enggak sama sekali aku gak ragu. Aku mau, aku mau. Iya Fortun aku pasti mau."
Dua kata itu benar-benar membuat Fortun bahagia. Hatinya seakan dipeluk. Ketika cinta sudah menyapa siapa yang bisa pura-pura tak merasa. Ketika cinta adalah doa, biarkanlah membawa bahagia dan izinkan tawa dicipta.
(Terkhusus untuk Edward Rumapea, terima kasih pertanyaannya/f)Simak berita selengkapnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB) edisi 08 Maret 2014. Atau akses melalui http://epaper.hariansib.co/ yang di up-date setiap pukul 13.00 WIB.