Dickrys terpelongo. Sudah sekian lama mencari teman dekatnya tapi tak juga berhasil. Baru kali ini mendapatkannya tapi timbul pertanyaan besar, apakah ini Siti? Kok namanya tertulis Marlina Shanty Wahdaniah?
Dari kelengkapan namanya, tidak mungkin nyamar atau pakai nama sohor? Krys ingat betul nama lengkap Siti, Marlina Shanty. Kan gak nyambung dengan Marlina Shanty Wahdaniah?
Tetapi semakin masuk ke akunnya, Krys semakin penasaran. Semua hampir sama dengan memorinya tentang Siti. Hanya saja, kenapa permintaan pertemanan tidak dijawab-jawab Siti.
Bahkan ketika menghubungi dengan voice, tak juga dibalas. Menyimpan rindu, ia coba bertanya pada kawan-kawan, tapi tak satu jawaban seperti keinginannya diterimanya. Ia bahkan hampir menaikkan bendera sebagai tanda menyerah.
Sambil mengumpat-ngumpat ia ingat bagaimana Siti, sahabatnya yang dulu. Orangnya baik hati. Tidak supercantik sih tapi parasnya cukup manis untuk ditatap. Dari keluwesannya bergaul membuat tak sedikit orang suka.
Siti memang ramah. Sepertinya terlahir memang ramah. Suka menolong. Di titik inilah banyak orang terkagum. Pokoknya, kalau butuh bantuan, jumpain saja Siti. Ia akan bersuka membantu, selama masih mampu.
Padahal, jika boleh jujur, Siti bukan dari keluarga berada yang mampu mengeluarkan banyak uang. Orangtuanya petani di kampung. Memang sih... tuan takur dengan luas lahan menggiurkan tapi tidak semakmur Chisqa, yang orangtuanya pedagang farmasi. Tidak sekaya Eva, yang orangtuanya petani buah ekspor. Apalagi sekonglomerat Vina, yang anak pejabat.
Meski sudah membantu, Siti tetap rendah hati. Tak pernah ada sikapnya yang menyakiti orang lain. Selain ramah dengan banyak kawan, ia tak pernah memilih untuk berkawan. Tetapi, kenapa sekarang berubah?
Sudah dichat, tak direspon. Ditelepon, tak diangkat. Apa sih susahnya membalas permintaan seperti itu? Krys jadi instrospeksi sendiri. Dulu, ketika hendak lulus-lulusan, ia memang pamit, minta diantar sampai ke kampung.
Krys bukan tak mau tapi malu hati. Saat itu tidak punya uang sedikitpun. Tidak mungkinlah mengharap dari Siti. Alasannya, ibunya kurang enak badan hingga tidak tega meninggalkan jauh-jauh.
Ia mengantar Siti sampai stasiun tapi tak terwujud karena ditolak. Secara mengejutkan, Siti justru datang ke rumah Krys. Membawa jeruk dan silaturahim dengan keluarganya.
“Kau berbohong,†ujar Siti. “Bilang ibu kurang sehat, tapi nyatanya segar bugar. Jangan karena tak mau mengantarkanku mengorbankan orangtua. Itu satu perlakuan jahat. Tak termaafkan,†ujar Siti.
Krys terdiam. Siti benar.
“Tapi aku tak sakit hati,â€
“Maafkan aku...â€
“Aku tak menganggap itu sebagai kesalahan buatku,†lanjut Siti. “Hanya saja, kejahatanmu pada orangtuamu!â€
“Aku minta maaf, Siti,†bujuk Krys. Ia beranikan memepet duduk Siti. Ia langsung meremas jemari Siti dan buru-buru menciumnya.
Siti diam saja. tak ada reaksi sedikitpun.
“Maafkan aku ya!â€
“Apalah alasanmu hingga membohongi aku?â€
Krys diam lagi. Berat sekali untuk bicara. Jika berbohong dan ketahuan lagi, bahaya. Tetapi jika jujur, tidak mungkin.
“Jawablah,†kejar Siti. “Aku gak butuh untaian kata-kata mesra tapi inginnya jujur!â€
“Aku minta maaf...â€
“Ciumlah kaki ibumu!â€
“Pasti kulakukan setelah ini!â€
“Kenapa aku ...â€
Krys tak sabar. Dipeluknya Siti tapi langsugn ditepiskannya. Baginya, sangat sakit diperlakukan seperti itu. Apalagi boleh dikatakan itu adalah permintaan terakhir sebelum berpisah karena sama-sama menuntut ilmu.
“Aku mau cerita,â€
“Bukan berarti pakai peluk seperti itu...â€
“Jujur, aku salah,†tambah Krys. “Aku tak punya uang. HP-ku saja kugadaikan untuk pegangan di kampungmu. Tapi rupanya Siti datang ke rumahku!â€
Siti terkejut. Amarahnya langsung reda. Ingin dipeluknya Krys tapi malu karena tadi justru ditolaknya. Rasa sukanya makin tinggi tapi perpisahan tak terelakkan.
Sampai di kampung, tubuhnya lemah. Sampai-sampai membalas chat kawan-kawan malas. Apalagi sedang fokus mengurus aplikasi ke PT. Siti ingin melanjut ke Jawa. Cita-citanya ingin lebih menonjol dari abang dan kakaknya yang mendapatkan beasiswa di Sumatera.
Sembuh dari sakit, Siti berniat berangkat tapi sakit lagi. Sembuh sembentar, sakit lagi. Orangtuanya kemudian berinisiatif mengganti nama. Siti diberi alternatif memilih Miftahul Jannah atau gabungan nama nenek dan ibunya? Siti menyerah pada pilihan orangtuanya.
Pilihan orangtuanya manjur. Siti tak sakit-sakit lagi hingga melanjutkan studi. Mengejar ketinggalan karena sakit, ia fokus pada pelajaran. Ia bahkan stop bermedia sosial. Ketika ada jeda karena pandemi Covid-19, Siti aktif.
Betapa terkejutnya ia karena beroleh sejumlah permintaan pertemanan dari banyak orang termasuk dari Dickrys.
Ia merespon dan menerakan kata maaf karena harus fokus pada pelajaran. (a)