Aku memanggilnya Bunga tapi kawan-kawan selalu menambahi dengan yang tak enak. Mulai bunga kotoran ayam sampai bunga ternoda. Seperti inisial korban pelecehan yang selalu di koran-koran.
Potensi Bunga cukup membanggakan. Selalu dapat ranking tapi selalu jadi obyek tertawaan. Misalnya guru mengajukan pertanyaan, Bunga selalu jadi contoh untuk kedepan. Jika berada di depan kelas, kelas jadi riuh.
Seisi ruangan tertawa. Kadang guru pun ikut-ikutan. Tak hanya senyum namun makin ngakak. Soalnya, tubuh Bunga tidak seperti kebanyakan orang. Mungkin ketika kecil, stunting.
Tetapi, jika benar persoalan gizi, Bunga mamatahkan dalil. Ia pintar. Buktinya setiap guru mengajar dan dievaluasi, Bunga yang pertama kali tunjuk tangan. Namun... ya itu tadi, jika ke depan menulis jawab ke papan tulis, tangan Bunga tak sampai.
Seisi kelas gemuruh. Disebabkan selalu mendapat hal seperti itu, Bunga jadi minder. Ia jadi jarang unjuk jari. Belakangan, Bunga pun jadi malas belajar.
Aku dan Siska yang selalu jadi tumpahan isi hatinya. Ia selalu mencari tahu kenapa pertumbuhan tubuhnya tidak seperti orang kebanyakan. Jawaban yang didapatnya tetap tak memuaskan hati.
Apalagi jika membandingkan dengan saudara sekandungnya yang punya tubuh tergolong sempurna. Adik terkecil Bunga justru punya tubuh atletis. Ditopang ketampanannya, lengkaplah.
Kadang saat menumpahkan isi hati, Bunga protes tapi entah pada siapa. Ibunya bilang, lahirnya Bunga biasa-biasa, normal. Bahkan sampai masuk sekolah, normal. Ketika naik kelas tiga baru kelihatan.
Bunga lalu menyimpulkan sendiri. Yang salah Yang Di Atas... Aku dan Siska pun membujuk Bunga untuk tidak mempersoalkan apa yang diberikan padanya dari Sang Kuasa. Justru ia harus bersyukur karena memiliki otak yang encer, mampu menangkap pelajaran walau masih sekali diajarkan guru.
Ketimbang kami, yeah... mampu juga tapi tidak sebrilian Bunga.
