Tiba-tiba aku harus mengurungkan ke luar rumah. Padahal sudah janji ketemu sama kawan-kawan di kafe baru yang ada live music-nya. Ibu tiba-tiba menyuruhku membereskan rumah.
Bersamaan dengan itu, aku disuruh masak. Kesaaal kali jadinya. Kalau hanya memanasi sayur, gampang sih. Tetapi kalau mengolah makanan baru, repot. Selain butuh waktu panjang, juga harus cermat.
Soalnya, jika tak enak, tak hanya ibu yang marah. Ayah pasti ngomel. Belum lagi abang sama adik. Kayak raperlah mulutnya. Merepeeet panjang.
Aku sih senang disuruh masak. Soalnya hobiku emang mengolah kuliner tapi kali ini kan sudah janji. Janji ketemu untuk membicarakan apa yang hendak diberikan pada Iren.
Iren mau berulang tahun. Iren anak baik. Cantik. Pinter dan tajir. Tiap hari jadi donatur jika kami di kantin. Itulah sebabnya kami ingin memberi kejutan istimewa di hari ulang tahunnya.
Aku sih ingin memberi kado spesial, tapi gak punya duit. Itulah sebabnya ketika ide mengumpulkan seikhlasnya dan dibelikan sesuai untuk Iren, aku mendukung penuh.
Aku memberi tahu tak jadi datang. Baru sepotong bicara, kawan-kawan sudah mencela. Menuduhku ingkar. Tidak setia kawan. Sombong.
Sumpah. Aku tersinggung tapi emang demikian. Aku cuma bilang, keputusan apapun yang diambil, aku setuju. Maksudnya, agar Iren benar-benar suka dengan apa yang kami lakukan.
Ketika mulai masuk sekolah, kami tidak menemukan Iren. Memang, karena masa pandemi Covid-19, tidak ada belajar tatap muka. Itu sebabnya tidak terlalu khawatir.
Iren memang selalu memilih di rumah ketimbang keluyuran seperti kami. Yang pasti, mendekati perayaan hari ulang tahunnya kami makin sibuk.
Kawan-kawan dalam grup kecil kami sudah menyiapkan baju baru yang hendak dipakai di acara ualng tahun Iren. Aku juga. Tetapi, kabar mengejutkan datang, Iren masuk rumah sakit karena kondisi fisiknya drop.
Rencana perayaan dibatalkan. Kami bergegas, sampai di rumah sakit, Iren tak sadar. Tak ada pembicaraan karena kabat terakhir Iren menghadapNya. (p)