Aku terpukul. Merenung sambil melayani order makanan konsumen. Awal April manajemen merumahkan sejumlah karyawan. Aku tak termasuk dalam gelombang itu tapi... aku terpukul.
Kawanku cerita, ia sedang butuh uang. Ibunya mau berobat. Rencananya, gajian ini uangnya bulat-bulat ditransfer demi kesehatan orang yang sangat disayanginya. Agendanya, selama sebulan ke depan, ia puasa jajan.
Usaha kuliner tempat kami bekerja memang menyediakan pemondokan dan memberi makan pada karyawannya. Makan dan minum sepuasnya tapi menunya sudah dipaketkan. Jadi, gaji dapat disimpan untuk keperluan lain.
Tetapi, perumahan karyawan mengenai rekan dekatku. Aduh, bagaimana ia mengirim uang ke orangtuanya. Dirumahkan berarti hanya menerima uang saku seadanya. Bukankah perusahaan kami baru beroperasi empat bulan.
Aku membatin sendiri. Andaikan boleh, biarlah aku dan kawanku setengah bulan dirumahkan. Maksudnya, agar kawanku tetap mengirim uang ke kampungnya, meskipun tidak penuh. Aku juga hendak melakukan hal serupa.
Belum teralisir niatku, kawanku sudah mengilang. Pada semua orang kutanyai, ke mana yang bersangkutan. Jawabannya sama, pulang kampung. Ketika kuhubungi, ia mengaku ‘sporing’ ke rumah famili. Tidak mampu pulang kampung karena harus mengeluarkan biaya.
Menurutnya, lebih baik ongkos pulang kampung diberikan pada orangtua. Ia berharap kiranya perusahaan memanggil seluruh karyawan lagi seiring beroperasi penuh dan pandemi Covid - 19 dinyatakan teratasi.
Tentang usulku untuk kerja berbagi dengannya, ia setuju tapi tak mungkin dilakukan. Jalan tengahnya, ia minta padaku untuk dipinjamkan uang. Mau mengirim ke kampung.
Aku mengiyakan, tapi tunggu gajian bulan depan. Tetapi, kesepakatan kami terpaksa dibatalkan. Kemarin, manajemen mengambil kebijakan menutup gerai makanan. Seluruh karyawan dirumahkan, termasuk aku.
Aku langsung teringat ibu di kampung.Ia tak pernah bilang butuh ini - itu atau minta kiriman tapi karena kewajiban, aku harus melakukan. Hanya saja, dari mana aku ada uang saat aku pun menganggur.
Aku ikut menyepi, menyendiri. Tidak mau pulang kampung. Bahkan mengangkat telepon dari kawan yang kujanjikan meminjamkan uang, aku tak mampu. (f)