Aku tersudutkan. Pria itu, lelaki yang paling cool di sekolahku, pergi dengan Laia. Padahal, aku yang lebih dulu mengajak Farhan jalan-jalan.
Ke mana saja pun oke. Aku tak menentukan harus ke mal atau nonton. Mal dan bioskop pun sedang close. Jika jadi keluyuran, ke alam bebas saja.
Mancing kek, apalah namanya. yang penting pergi berdua. Tetapi harapan sia-sia. Yang lebih menyakitkan, selain harapanku tidak dipenuhinya, Laila pamer kemesraan dengan Farhan.
Tengoklah foto-foto keduanya di akun pribadinya. Padahal, berulang kali Farhan menegaskan tidak ada hubungan apa-apa dengan Laila. Apalagi hubungan spesial.
Didorong statusnya yang jomblo, aku mendekatlah. Tidak ada salahnya kan.
“Aku gak ada apa-apa dengannya lho,†elak Farhan ketika aku dengan kesalnya menemuinya. “Jangan suudzhon apalagi sampai menuduhku yang bukan-bukan!â€
“Kenapa kau tidak terus terang pergi dengannnya?†buruku. “Sampai kapuran aku menunggumu di rumah!â€
“Lebih untung kamu di rumah,†jawab Farhan dengan nada tanpa sedikitpun ngeles. “Aku jadi umpan nyamuk!â€
Aku terdiam. Mau marah tapi tak tega memakinya. Apalagi melihat wajahnya yang memelas sambil minta maaf. Aku bilang, karma itu tetap ada dalam hidup. Tidak sekarang, nanti.
Farhan memahami. Ia pun janji akan tidak pernah melupakan janji, jika hendak pergi berdua denganku.
Pasca pertemuan itu, aku optimistis Farhan berada di pihakku. Tetapi, ia mangkir lagi. Kali ini alasannya mengantar mamanya ke salon. Sebagai bukti ia menyerahkan sejumlah brosur mode rambut terkini buatku.
Tindakannya itu membuatku luluh lagi. Meski masuk akal, aku mencari tahu sendiri. Menguntit akun Laila. Mana tahu ia pergi lagi dengan perempuan tersebut.
Benar, tak ada foto baru mereka berdua. Tetapi, Laila kini berani menglaim sudah resmi jadian dengan Farhan.
Ia cerita kepada wankawan bahwa malam Minggu lalu saat jalan berdua sebagai hati jadian. Aku ketawa sendiri.
Perasaan kali. Bukankah Farhan sudah menegaskan padaku, tidak ada hubungan apa-apa dengan Laila. Itulah namanya kepedeaan. Gak malu. Perempuan kok agresif banget.
Tatkala berdua, fokus pembicaraan aku dengan Farhan tentang statusku. Farhan masih tak menjawab ketika aku mendesaknya memilih aku atau Laila.
“Perempuan butuh kepastian!â€
Farhan masih tetap bungkam. Sambil merengek, aku merebahkan badanku di tubuhnya. Hmm, dadanya yang bidang. Ototnya kekar. Layak sekali tempatku berlindung.
Pertemuan itupun membuatku hanyut. Aku enjoy-enjoy saja ketika ia melakukan yang lain. Kupikir, jika aku menolak, aku akan dicampakkannya. Farhan pun akan berpaling pada perempuan lain.
Setiap pertemuan, aku melewati romansa indah bersama Farhan. Bagiku, semakin kebersamaan itu dalam jika aku memberi kehangatan pada Farhan. Lagi pula, ya itu tadi... aku takut ia pergi bersama perempuan lain, khususnya Laila.
Tatkala pertemuan demi pertemuan dihiasi romantisme, aku pun memastikan Farhan telah jadi milikku. Aku memroklamirkannya di akun media sosialku.
Jika dulu Laila mengklaim jadian dengan Farhan tanpa bukti, aku memublikasi foto-foto berdua yang rada-rada sangat pribadi. Meski followersku pada heran, semua kulakukan demi kepastian.
Mulai saat itu pula, kapan aku mau pergi bersama Farhan, ia langsung oke. Rasa percaya diriku pun semakin tinggi.
Jelang akhir semester, Farhan berubah. Selalu saja mengelak jika kuajak. Alasannya fokus untuk ujian akhir sekolah sebagai prasyarat penentuan kelulusan. Soalnya, UN ditiadakan karena pandemi virus corona.
Benar juga. Aku pun mendapatkan Farhan lebih pintar yang sekarang. Hanya saja, sampai ujian usai, ia terus tak mau lagi berdua denganku.
Aku kecewa. Janjinya yang tetap setia dan memilihku dilanggarnya. Aku dapat kabar ia sudah bersama perempuan lain. Yang menyedihkan, Laila langsung bilang Farhan mesra-mesraan dengan peraih gelar Puteri Persahabatan.
Setelah terus mendesaknya, akhirnya Farhan mengaku, jatuh cinta pada pandangan pertama dengan perempuan yang terakhir. Aku?
Ia minta maaf telah melabuhkan hatinya dengan perempuan lain. Aku tersadar. Betapa bodohnya aku selama ini yang terus pasrah dengan kemauannya hanya untuk satu hubungan semu.
Itulah yang membuatku benci pada diriku sendiri, yang rela melakukan apa saja demi ambisi. Apa boleh buat, perjalanan sudah dilalui. (f)