Aku memang tidak ingin melihat, tetapi ketika kulihat, aku bukan hanya melihat indah tetapi aku melihat kau yang berkerut, kau yang tua, dan kau yang tersenyum...
Bel pulang. Sekolah bagaikan tempat pacuan kuda, entah apa yang ingin mereka dapatkan. Namun sebuah kelas masih dihinggapi seorang gadis. Terlihat gadis itu masih belajar, rambutnya yang hitam pekat, pipinya yang putih ditambah dengan kacamata hitam, tak sekalipun dia mengedipkan matanya. Waktu telah berputar dua puluh tujuh menit, waktu telah habis. Ia memasukkan buku dan pulpen ke dalam tas. Ia melangkah keluar dan mendorong pintu kelasnya, namun pintu itu hanya bisa terbuka sedikit setelah didorong kuat. Seperti ada sesuatu yang menahan, akhirnya gadis itu mencoba untuk mendobraknya kuat, tapi anehnya pintu itu malah terasa sangat kosong hingga tubuhnya tercampak keluar dengan posisi telungkup.
“Aih, sakit!†keluh gadis itu. Akhirnya ia berdiri dan merapikan seragamnya. Seperti mendengar seseorang yang mendesah kesakitan dan ia pun berbalik, terdapatinyalah seorang pria yang bersandar pada dinding, tangan kanan memegang dada, tangan kiri memukul dinding, memejamkan mata dan keringatnya bercucuran.
“Kau kenapa?†tanya gadis itu panik, namun pria itu tak menjawab gadis itu, malah ia semakin memukul dadanya kencang.
“Sekarang lentangkan tubuhmu di lantai,†lanjut gadis itu, pria itu mengikuti.
“Tarik sekali nafas panjang yang dalam ya. “Tangan gadis itu dipegang erat sambil menarik nafas panjang, terus ia lakukan sampai nafasnya mulai teratur. Namun si pria tetap saja tidak mau bangun. Hingga akhir gadis itu melepaskan tangan pria itu karna sekarang sudah lewat dari jam pulang biasanya.
Maafkan aku, aku harap kau mengerti, ucap batin gadis itu. Cantika, lebih tepatnya Tika. Dia adalah anak dari pelaku ilegal logint yang terkenal sangat kaya raya. Namun kesederhanaannya menutupi itu semua.
“Sore non, kok lama sekali keluarnya,†ucap seorang lelaki yang sedikit tua, Mang Udin. Supirnya.
“Maafkan Tika ya ayah. Tadi tugas Tika banyak, jadi agak lama deh,†jawab Tika. Mereka sangat akrab. Sampai-sampai ia memanggil supir dan pembantunya, ayah dan ibu. Padahal kepada ayah kandungnya sendiri ia bersikap dingin.
“Ya sudah tidak apa-apa non, mari kita pulang,†mobil hitam itu pun berangkat pulang.
“Ayah sudah makan?â€
“Sudah non, pasti non kan yang belum makan,â€
“Kok ayah tau?â€
“Soalnya suara perut keroncongan non, kedengaran sampai sini. Jadi kita berhenti di restoran mana non?â€
“Restoran rumah yah,â€
“Di mana itu non?â€
Ya di rumahlah ayah, kan ibu udah masak yang enak buat Tika.â€
“Baiklah non, mari kita meluncur!â€
Akhirnya mereka tiba di sebuah rumah besar, namun sayangnya rumah itu tampak kosong. Tiada bunga, pohon, bahkan rumput yang memberi warna.
Hanya ada aspal dan keramik. Luas tak berhias, tak sejuk dan hitam putih. Tak dihiraukan, bukan karena pembantu atau supir yang tak memperdulikan melainkan karena sang pemilik rumah yang tak mengizinkan untuk membiarkan satu tumbuhan pun hidup di rumahnya.
***
Sekitar dua tahun yang lalu, seorang wanita dewasa sedang mengendarai sebuah mobil, cuaca yang sangat buruk tidak mengurungkan niatnya untuk tetap pulang. Hampir setengah jam mobil itu berhenti karena macet. Hingga sang pinus tua memilih untuk menumbangkan dirinya ke arah mobil itu. Wanita itu meninggal. Suatu kecelakaan tragis yang menimpa ibu Tika, namun apa yang mau dikatakan lagi. Semua telah terjadi. Semenjak kecelakaan itu, Ridwan, ayah Tika memutuskan untuk menjadi seorang ilogint, dan Tika sama sekali tidak menyukai tumbuh-tumbuhan apalagi pohon pinus.
Malam itu tampak berbeda, jelas. Hari ini Tika berulang tahun. Tika hanya bertiga dengan ayah, supir dan ibu, pembantunya.
“Selamat ulangtahun non,†ucap serentak mereka berdua.
“Makasih ayah, ibuâ€
“Sama-sama, non. Ayo non tiup lilinnya,†kata Mang Udin.
“Tunggu dulu non, mek kuis dulu dong,†ucap Sumiati, pembantunya.
“Apa bu? Make a wish ya?â€
“Iya non, itu maksud saya†Tika pun memejamkan matanya sebentar. Lalu meniup lilin berangka lima belas di atas kue ultahnya. Malam ini cukup indah bagiku, ucap batin Tika. Malam itu pun berlalu bahagia. Mang Udin dan Sumiati selalu setia menemani Tika. Bukan karena tuntutan agar tidak dipecat, melainkan karena hati nurani itu berbicara dan bergerak di hadapan seorang anak kecil; sendiri tulus.
***
Telilit...lilit..te,
“Halo?†Ayah menelpon, padahal mata Tika masih terasa berat.
“Iya, halo Ayah?â€
“Selamat ulangtahun sayang, Ayah sangat menyayangimu. Maafkan ayah, karena Ayah tak lagi berada di sampingmu saat ini. Tapi, ayah sudah mengirimkan kado kepada Mang Udin. Jangan lupa minta ya sayang. Daagh...anak Ayah...†tut..tut..tut telepon itu mati. Namun Tika belum melepas gagang telepon dari telinganya.
“Ayah, aku merindukan Ayah. Setelah kematian Ibu, seraya bukan hanya Ibu yang hilang, Ayah juga. Aku tak butuh kado dari Ayah, semuanya itu tak berharga. Aku cuma pengen Ayah di sini, cium kening Tika, Ayah adalah Ayah dan Ibu untukku. Aku rasa, aku siap mati setelah itu.†Akhirnya, ia meletakkan gagang telepon kemudian menangis. Tak ada suara rintihan atau teriakan. Menyimpan semuanya di hati adalah jalan terbaik. Hingga ia merasa semua akan tampak lebih biasa.
Setelah kejadian itu, Tika tak bermurung. Seperti biasa, ia terlambat ke sekolah lagi. Hingga ia mendapat hukuman membersihkan rumput di taman sekolah. Ia juga ditemani pria yang ia tinggalkan di depan kelas kemarin. Namun, tak ada percakapan. Waktu hukuman berlalu, Tika melangkahkan kakinya keluar taman untuk menuju ruang kelas.
“Cantik!†panggil Pria itu tiba-tiba, membuat tubuh Tika berbalik ke arahnya.
“Maksudku Cantika, bukan-buka, Tika,†lanjut Pria itu salah tingkah. Namun, Tika masih terpaku tak merespon ucapan Pria itu.
“Maksih ya untuk yang kemarin. Bolehkan sepulang sekolah aku mengajakmu jalan-jalan?†tanya Pria itu, setengah malu.
“Aku tak akan berbuat yang aneh-aneh padamu!†lanjutnya hingga akhirnya ia mendapat anggukan kepala dari Tika. Ketika Tika telah pergi, pria itu melompat kegirangan, seperti seorang pemulung yang mendapat harta karung. Dia adalah Rian, akrab dipanggil Ian. Saat ini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS, Ketua organisasi RAPALA (Remaja Pecinta Alam) dan Panitia Pengurus Paduan Suara di sekolah itu.
***
Seperti yang dijanjikan. Ia menunggu di depan kelas Tika. Akhirnya, Tika keluar, mereka pun keluar sama. Setelah sampai diparkiran, Tika menyuruh Ian untuk menunggu. Karena itu harus meminta izin kepada Mang Udin. Setelah mendapat izin, mereka pun berlalu. Sampailah mereka di sebuah taman indah. Penuh warna dan sejuk. Semerbak harumnya bunga menggoda hidung pengunjung. Warna menonjol itu membuat mata terasa segar. Kupu-kupu dan lebah yang bekerja menghiasi taman indah dan siapapun boleh memiliki keindahan itu.
“Un...untuk apa kau membawaku ke sini?!†kata Tika terpenggal.
“Bukankah ini cantik?†tanya Ian pamer.
“Apa maksudmu dan apa maumu?†tanya balik Tika. Dia seperti kerasukan setan. Bola matanya hampir terbalik karena terus memutarkan matanya ke arah yang tak menentu. Tangannya gemetaran, terus memukuli kepalanya. Hingga ia berdiri tegak di depan sebuah pohon pinus tua, besar dan kokoh, ia pun terus memelototi pohon itu. Sampai ia berlari dan memukul, meninju serta menendang pohon tua yang sudah berkerut itu. Tangannya yang mulus kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Tapi, tak nampak kesakitan di wajahnya. Ia menggerigikan giginya. Ia berteriak aneh. Untunglah taman itu masih sepi pengunjung.
“Ahk...kenapa kau tega?! Kenapa harus Ibuku? Dasar makhluk tak tahu diuntung! Mati saja kau!†jerit Tika, melihat kejadian itu. Ian yang tak tahu apa-apa akhirnya menarik tubuh Tika, hingga tubuh Tika jatuh dipelukannya. Inilah waktu yan tepat bagi Tika untuk menumpahkan segala kepedihan yang ia pendam. Tangisnya kecil, namun tampak menyakitkan. Kata-kata manis tak akan cukup mampan mengobati luka lama yang terus dilukai. Setelah derai air mata, Tika mulai lebih tenang dan normal. Tika melepaskan dirinya dari pelukan Ian.
“Maafkan aku,†ucap Tika sedikit terisak.
“Tak apa. Kau kenapa?â€
“Enggak apa-apa kok.â€
“Lalu bagaimana dengan lukamu?â€
“Lima menit lagi pasti mengering.â€
“Kau yakin?â€
“Ya, ngomong-ngomong kemarin kau kenapa?â€
“Akhirnya kau bertanya itu juga, aku ini penyakitan!â€
“Kau tak bisa memilih.â€
“Karena itu aku ditelantarkan.â€
“Apa maksudmu? Kenapa kau berani bicara seperti itu kepada orang asing?â€
“Kau tidak asing. Kau lihat pinus itu? Di situlah aku ditemukan, dengan darah di sekujur tubuh dan terbalut dengan kain gendong tipis. Mereka mengatakan aku terjaga di sana, tidak menangis. Semahal apa pun kain yang kau kenakan sekarang, seberapa dimanjapun, aku tak lebih dari seorang anak yang ditelantarkan dan pernah menjadi anak pinus.â€
“You’re so special!’
“Why?â€
“Karena kau memang istimewa. Tidak sulit tapi memang sulit.â€
“Maksudmu?â€
“Di saat seperti ini terkadang kita ingin menyalahkan seseorang. Tapi siapa?†Tidak ada yang perlu kau lakukan hanyalah berkata ‘itu memang aku’ pasti kau akan merasa ada yang berbeda. Itu karena kau menerima kamu apa adanya.â€
“Aku jatuh cinta.â€
“Pada pohon pinusmu?â€
“Mungkin.â€
“Apa pohon pinusmu perempuan?â€
“Mmm...Mungkin.â€
“Kenapa hanya mungkin?â€
“Tunggu sebentar ya. Aku akan kembali.†Ian meninggalkan Tika. Kemudian kembali dengan membawa beberapa daun.
“Duduklah, ini daun. Ratusan daun ini akan membuat darahmu akan berhenti dan lukamu juga akan cepat kering,†kata Ian terus melumat daun itu hingga lembut.
“Aku tidak mau,†sedikit berteriak. Tika menyembunyikan tangan dibalik badan. Namun keramahan tangan Ian mampu menarik tangan Tika. Lembut belaian tangan Ian menutupi luka.
“Tumbuhan itu indah. Semua hanya bergantung pada mata mana yang memperhatikan. Mata dendamkan? Mata tuluskah? Atau yang lain. Mereka hanya patuh pada tuannya. Lihatlah, jikalau kau menanam pohon mangga, maka yang akan tumbuh adalah pohon mangga, tak pernah pohon durian. Lain halnya dengan rumput. Begitu mengganggu. Tapi, lebih baik hidup di padang rumput daripada di padang gurun.†Sesekali mata dan bibirnya memberi rasa manis hingga mampu menembus benteng pertahanan Tika. Dia hanya berdiam dan kaku. Entah dia diam kagum atau memang tak ingin mengetahui atau membahas tentang apa yang Ian katakan.
“Pohon pinus itu kokoh, semua orang dapat bersandar kepadanya. Daunnya menjadi payung dari rintikan hujan dan sinar matahari. Akarnya menggemburkan tanah di sekitarnya. Dan satu lagi, ia menghasilkan gas oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.â€
“Lalu apa yang tidak dipunyai pinusmu?â€
“Mereka tidak punya tangan untuk dapat memeluk manusia yang menangis. Semua manusia itu hanya bisa menebang dan menjual hingga akan datang banjir. Mereka angkat tangan dan berkata ‘aku tidak tahu apa-apa’. Orang yang tidak membiarkan itu terjadi adalah kita, kita yang pernah berbicara dengan pinus dan kita yang memahami pinus itu.â€
(f)