Pertanyaan yang paling tak enak jika bertemu siapapun adalah ketika ditanya kapan married? Aku pasti tak menjawab dengan kata-kata, selain senyum. Kemudian aku bertanya dalam hati, kenapa soal nikah yang ditanya? Apakah aku sudah dikategorikan tua? Padahal aku masih onches lho! Jalan masih panjang kok!
Hal lain, aku tak mau married by accident! Anak muda zaman now harus berprestasi banyak-banyak barulah melangkah ke jenjang rumah tangga. Meski begitu, bukan aku tak punya gandengan. Bahkan sudah serius tapi, ya itu tadi... aku mau perjalanan selanjutnya dalam rancangan dan mendapat ridhoNya.
Jika boleh jujur. Aku punya kekasih. Sudah cukup lama bersama. Kami sudah sepakat, tapi belum untuk memenuhi seperti pertanyaan seperti di atas.
Akunya sih yang merasa tak baik jika belum dapat berbuat maksimal. Misalnya, kalau berumah tangga kan harus mampu menafkahi istri. Kalau berumah tangga dengan modal nekad, bukan tipeku.
Itulah sebabnya aku terus berusaha mendapatkan kerja. Bukan sekadar kerja. Maksudnya, kerja yang baik adalah yang sesuai kemampuanku dengan salary memadai. Minimal dapat menghidupi aku dan istriku.
Langkah itu kupikirkan karena aku tak mau jadi benalu. Misalnya, istri kerja dan aku di rumah. Bukan tipeku numpang hidup atau membalikkan semangat emansipasi wanita.
Tekad itulah yang membuatku melangkah tak henti. Ke mana pun aku harus sanggup dan dapat sekuat tenaga harus dapat.
Aku pernah dapat kerja di Medan. Gajinya lumayan tapi memang harus banyak buang enerji. Aku ingin berkembang. Melompat ke Batam.
Kota yang menjanjikan. Di kota berbentuk pulau yang berdekatan dengan Singapura itu aku beroleh kerja dan mendapatkan pendamping hati. Kami saling suka, tapi untuk married, belum. Aku melangkah lagi ke Jawa, pusat buruan masyarakat dengan segala magnetnya.
Ntar, jika married, kukabarilah.
(q)