Jumat, 22 November 2024
CERPEN

Tanpa Judul

Karya Riani Sartika Lumbanraja
- Minggu, 08 Juni 2014 19:34 WIB
491 view
Tanpa Judul
"Sajak itu sudah menjadi sebuah prosa. Hanya itu yang kau minta sebelum pergi kan? Nanti kushare kalau tak mau dengar kubacakan.” Dia hanya tertawa, tak ada komentar. Tawanya terasa samar di telinga, tak biasa. Ada yang tak kukenal. Tawa itu terlalu baru dan sudah cukup membuatku terharu.
***
"Cinta jarak jauh itu terlalu sulit untuk dipercaya."

"Kenapa sulit? selama kau percaya bagiku itu tak masalah. Bukankah di hati kita ada sumur yang tak pernah kering? Lalu kenapa kau harus menyapa ragu?"

Di wajah itu tergurat garis-garis keraguan,sangat kentara. Tapi dia coba menutupi dan gadis itu hanya ingin coba mengerti.

"Bagiku sulit, entahlah bagimu.Tapi sebisa mungkin kucoba biar tak sulit."

Dia bingung dengan kalimat itu. Sihol bukan tipe gadis yang suka melontar tanya, dia lebih suka menikmati tanya dalam sepi, merenungkan jawab dalam malam yang kelam. Terdengar aneh memang, tapi itulah perbedaannya dari gadis-gadis lain sebayanya. Sore yang rindang itu teras sejuk dalam jiwa.

Sihol memeluk rindu yang begitu syahdu. Dia ingin menggenggam semua rasa yang seakan kian memudar. Seketika, dia dihentakkan oleh langkah yang tiada lagi asing di anak telinga. Julius, itu pastilah langkah Julius. Setiap hentakan kakinya punya nada, bau parfumnya spesial, bahkan napasnya seakan mencipta lagu-lagu sendu yang merdu.

"Aku rindu kamu!” teriaknya di depan pintu.

Siapapun yang mendengarnya pasti kaget. Itu kalimat yang diluar dugaan, seorang sihol mengaku rindu. Suatu keanehan yang baru kali ini terjadi.
"Aku Cuma pamit aja, keberangkatannya dipercepat, lusa."

"Hahhh? lusa? aku kerja, besok aku kerja. Mana ada waktu untuk berdua."

"Iya, aku ngerti."

"Kau pergi tanpa kenangan terakhir?"

"Kenangan kita sudah di sini, dalam hati."

Ditariknya tangan Sihol dengan lembut, ditaruhnya di dada. Ini pemandangan yang tak biasa. Dia ingin kekasih hatinya itu merasakan dan menangkap setiap butir-butir ketulusan cintanya.

"Maaf. Kalimatku kemarin menyakitimu. Aku ingin keadaan sulit yang akan kita hadapi nanti dijalani santai dengan hati. Akan kukirim setiap rindu dalam sebuah bingkai hati, Akan kutitip salam dengan cinta dalam sebuah desahan lafaz rindu. Kalau kau rindu itu artinya aku sedang memikirkanmu."

"Hahaha……kenapa tiba-tiba bahasamu puitis?"

"Kutahu ini tak seindah sajak-sajakmu, tapi aku belajar mati-matian."

"Setidaknya kau berhhasil, aku suka. Ternyata kau punya sense sastra yang tidak terlalu buruk."

"Aku mau sajak-sajak ini akan menjadi prosa-prosa saat aku kembali."

"Satu sajak untuk seribu rindu. Aku janji."
****
"Aku mau sajak-sajak berubah menjadi prosa-prosa." Dia selalu mengingat pesan itu. Suara itu selalu menggema di relung hatinya. Tak pernah pudar, tiada samar. Masih tetap sama. Sajak tercipta setiap hari. Itu artinya ada seribu puing-puing rindu yang harus dirangkainya dan diuntai menjadi kalimat-kalimat bermakna. Disusun menjadi kumpulan prosa yang berjuta.

"Terlalu capek ya pekerjaannya?"

"Iya nih, Pergi pagi pulang malam, kadang tak pulang."

"Kenapa tak cari kerja lain aja Jul?"

"Cari kerja itu sulit, lebih sulit dari mencari jarum dalam jerami."

"Memang sih ,tapi daripada kerja sampai larut malam tanpa istirahat?"

"Kamu doakan aku biar kuat ya."

"Aku buat sajak yang indah, mau dengar??"

"Kalau kudengar sekarang, gak surprise dong waktu aku pulang nanti."

"Satu aja, sajak yang ini aja,yang lain enggak deh."

"Jangan ah, nanti aja ya."

Ditutupnya telepon dengan rasa kecewa yang mendalam. Desahan napas itu menuangkannya terlalu jelas. Siapapun bisa mengejanya.

***
Sajak-sajak itu rasanya terlalu banyak untuk dibacanya nanti, Belum lagi semua yang telah disulap menjadi prosa-prosa sederhana penuh makna. Kenapa dia tak penasaran dengan isinya, padahal itu permintanya. Dasar lelaki misterius yang jenius. Bisa aja membuat wanita terbius. Sihol hanya memandangi figura coklat dengan tempelan bintang-bintang laut kecil yang sepertinya sengaja diberi warna-warni itu. Terlihat sempurna dengan foto ukuran sedang.

Keduanya tampak tersenyum bahagia. Foto dengan latar Jembatan Ampera yang sengaja dia abadikan dua tahun lalu masih belum memudar. Gigi putih Julius semakin memperindah senyumnya. Kalau dibandingkan dengan foto terbaru yang dikirim beberapa lalu, lemak di pipi kiri dan kanan itu seakan terkikis hanya gigi putih itu yang belum berubah. Tiba-tiba saja rasa rindu menyelimuti hatinya. Entah kenapa sepertinya betah bertandang kepikirannya.

Ingin ditepis sangat tak sopan. Bukankah kata Julius dia sedang memikirkannya kalau dia sedang merindu. Kenapa dia harus memikirkannya kalau hanya bongkahan-bongkahan rindu yang dikirim. Harusnya dia berpikir untuk menciptakan penawar rindu. Wajahnya mulai tidak beraturan bentuknya, bahagia atau enggak, hanya dia yang bisa menjawabnnya.
***
"Komunikasi kalian lancar?"

"Lancar, banget pun malahan. "Dia selalu setia tanya kabar tiap hari walaupun hanya sekali, dua kali saja."

"Lalu, kau tidak curiga?"

"Haruskah?"

"Ya ampun, kau tuh terlalu lugu kalau kunilai."

"Tapi hatiku percaya bahkan cintaku terasa dipeluk dalam jiwanya."

"Oh ya? Nanti kau aja yang merasa, dia enggak."

"Pliss jangan buat aku jadi ragu."

Ahh, entah kenapa harus ada perbincangan tadi. Dia mulai dihinggapi ragu, ragu yang terlalu sulit untuk ditepis. Dia hanya menyimpan kalimatnya.
Dia sudah tepati janjinya, Dengan hati setengah ragu kalimat diucapkannya untuk menguatkan hatinya menipis ragu yang mulai enggan pergi. Dia pasti tepati janjinya. Dia belum pernah ingkar janji. Cintaku masih terukir dihatinya, selalu terukir dihatinya, akan tetap terukir dihatinya.

Sihol yang tidak akrab dengan kata galau sepertinya harus mulai membiasakan diri dengan suasananya. Suasana tak enak membuat seluruh tubuh terlalu rapuh untuk berdiri.

***
"Sajak-sajak ini kucipta kala rindu. Haruskah kau baca sekarang?"

"Hahh, tak kusangka kau bisa lebih hebat tanpa aku disisimu."

"Kau memang tak bersamaku, tapi cintamu selalu bersamaku."

"Jadi sajak ini adalah bukti yang harus kupercaya?"

"Maksudmu apa Jul?"

"Bukankah itu yang kau minta? Kau minta sajak-sajak ini berubah menjadi prosa pendek penuh arti."

"Kau wanita baik. Seharusnya kau bersama laki-laki yang baik."

"Aku bodoh, aku tak cukup cerdas untuk memaknakan kalimatmu Jul."

"Aku tak mau penjelasan yang lebih dalam itu akan menyakitimu lebih dalam. Maaf membuatmu terlalu lama termangu bersama harapan. Tak seharunya kulakukan itu."

"Aku tak mengerti, aku tak mau mengerti. Titik!!"

"Kau menegerti dan kau harus terima. Jangan menyiksa diri. Maaf Sihol."

"Maaf, hanya itu yang bisa kuucap."

Sihol tertunduk kemudian jatuh karena rapuh. Untuk apa lagi sajak itu. Untuk apa lagi cinta dan rindu itu. Untuk apa lagi figuran itu. Untuk apalagi semua kenangan itu?"

"Kau membuatku terlalu lama memeluk rindu, terlalu lama mendekap rasa."

"Maaf."

"Tak perlu kau bilang maaf. Rasa diantara kita bukanlah sebuah kesalahan yang perlu dimaafkan. Aku tetap berharap doa-doa dalam rangkaian sajak ini akan dijawab. Aku ingin kita, aku dan kau bahagia, selamanya meski tak harus bersama.

***
Begitulah sajak-sajak itu hanyalah sajak tanpa jejak. Tak pernah dibaca oleh Julius, tak ingin juga disimpan oleh Sihol. Sajak itu hanyalah sebuah duka yang menyisakan luka. Jangan paksa memberi judul. Biarkan semua menjadi sajak dan kisah tanpa judul. (h)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru