Jumat, 22 November 2024
Cerpen

Indah Pada Waktunya

- Minggu, 20 April 2014 22:08 WIB
559 view
Indah Pada Waktunya
Butiran tetesan air mataku jatuh membasahi pipi. Sejenak aku tersentak setelah membaca surat dari ibu. Surat singkat yang menyuruhku untuk pulang ke kampung dan berhenti dari perkuliahanku.

“Ini mungkin berat untuk kita nak. Pulanglah ke kampung. Bantulah ibu. Usaha ayah bangkrut semuanya sudah disita bank termasuk rumah kita. Dan sekarang ayah sedang sakit keras.”

Kuremas dengan erat surat ibu. Sesaat nafas ini terasa berat. Ruangan kamarku serasa semakin kecil dan semakin lama semakin menyempit. Kamar kost ini seakan tak berpintu. Tak berjendela. Rasanya aku di ruangan tanpa udara. Panas, sesak, semuanya beradu menjadi satu. Kepalaku pusing bukan kepalang. Semua gelap. Pikiranku buntu. Deringan ponselku tak kuhiraukan lagi. Mungkin sudah ada puluhan panggilan yang tak kuangkat dari Rendi. Ada pesan yang bahkan tak kubaca. Huh... kuhela nafas panjang berharap dapat mengurangi kepenatan yang ada. Berusaha untuk ikhlas walaupun tak rela.

Kupandangi semua isi kamar kost ku satu per satu. Buku-buku, perlengkapan kuliah semakin sesak saja dada ini. Walau dengan diiringi derai airmata aku mencoba untuk ikhlas menghadapi semua ini. Kenapa bisa usaha ayah bangkrut? Kenapa bisa ayah ditipu orang kepercayaannya sendiri? Ya Tuhan... apa arti dari semua ini. sambil mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi akhirnya packing selesai juga. Luka di hati semakin dalam saat melihat almamater hijau ku tergantung rapi di dalam lemariku. Kudekap erat almamater yang sudah dua tahun bersamaku menjalani perkuliahanku. Ternyata sampai di sini saja.

Dengan langkah yang berat aku berjalan menyusuri jalan. Walau tengah malam aku menembus kegelapan tanpa rasa takut. Semua rasa hilang. Hidupku rasanya hampa. Siapa yang harus kupersalahkan. Takdirkah? Biarlah waktu yang menjawab semua. Rasanya aku ingin berjalan ditengah derasnya hujan agar tidak ada yang tau betapa derasnya tetesan airmata ini. Betapa dalamnya luka dihati ini.

Akhirnya sampai juga di kampung halaman tercinta. Rasanya dunia ini tak adil. Aku seakan ada di dunia mimpi dan aku berharap ini memang benar-benar mimpi. Rumah kami sudah disegel oleh bank dan sudah diberi garis polisi. Cobaan apalagi ini. Abang pertamaku terkena kasus penjualan barang-barang haram. Bang Andi... kenapa jadi begini? Jeritku dalam hati. Ternyata rumah kami sudah kosong bersamaan dengan datangnya surat ibu.

“Keluargamu ada di tempat nenekmu, Nina.” Bu Windy menyadarkanku dari lamunanku. Ibu bersimpati atas semua yang menimpa keluarga kamu ya, Nin, yang sabar ya...,” tambah Bu Windy mencoba memberiku semangat sambil menepuk punggungku. Seolah menyuruhku untuk lebih kuat dan lebih tabah.
“Iya bu... makasih ya, bu... aku mau ke  rumah nenek dulu mau lihat ayah dan yang lainnya.”

“Loh... Nina gak tau ya...ayahmu kan sudah meninggal kemarin karena sakit jantung dan sudah dikebumikan tadi sore...”
“Apa, bu? tidakk...ayah.....”

Semua terasa gelap. Aku tak mampu mendengar apa-apa lagi. Sesaat aku tak bisa melihat apa-apa lagi. Tubuhku terasa ringan. Saat aku membuka mata ternyata aku sudah ada di rumah nenek.

“Kak Nina, kakak tadi pingsan, sekarang kakak sudah ada di rumah nenek,” seru Ferdi, adikku yang paling kecil yang masih duduk kelas 5 SD.

“Dimana ibu, Fer?” tanyaku sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. Ferdi  hanya diam dan menunjuk ke arah kamar nenek. Aku benar-benar tidak mengerti atas apa yang terjadi. Ibu terbaring lemah di atas tempat tidur. Ibu stroke. Ayah meninggal dan aku tidak tau bahkan aku tak sempat melihat jenazahnya. Rumah disita. Harta ayah ludes tak bersisa sedikitpun. Bang Andi dipenjara. Kulihat di sekelilingku ada Kak Vera, Kak Rani, Bang Edo dan Ferdi menatapku dengan tatapan kosong api penuh makna. Sesaat kami terdiam lalu saling merangkul. Kami berpelukan dan menumpahkan segala kesedihan kami dengan tetesan air mata. Semua tetangga yang melihat kami seakan tak mampu menahan tangisan mereka. Tujuh kami bersaudara barulah sekali ini kami saling berpelukan. Selama ini ke mana? Selama ini hidup kami yang mewah membuat kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Kecuali Bang Andi yang dipenjara karena kasus narkoba dan Kak Ika yang ada di rumah sakit karena mencoba bunuh diri setelah ditinggal nikah oleh kekasihnya. Baru kali ini aku menangis bersama kakak, abang dan adikku. Baru kali ini kurasakan bahwa aku punya saudara.
***
“Maaf ya, Ren...aku gag angkat telponmu” aku berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Rendi. Berharap dia mengerti.

“Iya... ga masalah kog Nin... yang sabar ya aku akan selalu mendukungmu. Sorri ya, aku lagi banyak tugas ntar kukabari kalau udah selesai...”
Rendi langsung menutup teleponnya. Walau berat aku harus terima kenyataan bahwa aku harus berhenti kuliah.  Untung saja Kak Vera, Kak Rani dan Bang Edo mendapat beasiswa dari kampusnya. Setidaknya mereka dapat bekerja sambil kuliah. Sedang Kak Ika sudah dipecat dari pekerjaannya. Aku harus bekerja menyekolahkan Ferdi adikku dan biaya perobatan ibuku yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Sejak telponan malam itu Rendy tak pernah menghubungiku lagi. Bahkan sampai sebulan Rendi tak ada kabar. Kutelpon tak pernah diangkat dan ku smspun tak pernah dibalas. Sejuta tanya ada di benakku. Ada apa dan mengapa. Kutanya silvia teman dekatku waktu di kampus tapi dia tak menggubris keadaanku. Ternyata benar apa kata orang, di saat kita jatuh maka kita akan tau siapa yang benar-benar teman kita. Dan sekarang aku tau karena semuanya pergi menjauh dariku. Karena penasaran aku mencoba informasi dari Facebook. Saat melihat profil Rendi aku baru tau ternyata di Facebook Rendi telah menambahkan silvia teman dekatku sendiri menjadi pacarnya.

Masalah apalagi ini. Segera kutelpon dia dan sekali ini entah setan apa yang membuat dia mengangkat telponku.

“Selamat ya Ren, sudah punya pacar baru...”
“Maaf ya, Nin...”

“Sudahlah, Ren... sadarnya aku. Siapa sekarang aku. Aku bukan selevel samamu. Aku hanya anak yang putus kuliah dan sekarang hanya sebagai cleaning Service. Makasih buat semuanya  ya...”

***
Itu adalah terakhir kali ini aku komunikasi dengan Rendi. Cukup taulah aku tentang kejamnya kehidupan ini. Saat dulu semuanya masih ada. Masih cukup perekonomian keluarga begitu banyak teman-teman yang datang. Tapi sekarang, terlihat semua kemunafikan dan sandiwara kehidupan ini.

Saat hati menangis ternyata begitu berartinya sebuah senyuman. Dan ketika hati ini sedang kesepian begitu berartinya seorang teman. Tapi tak ada lagi senyum tak afa lagi teman yang ada hanya airmata dan kesepian. Sejenak aku merenung meratapi apa yang terjadi kepada keluarga kami dalam beberapa bulan terakhir ini.

“Ayah aku rindu...ibu...apa yang terjadi pada kita ibu...? Kenapa Tuhan tidak adil...?” Seakan aku ingin menyalahkan takdir. Sejenak aku tersadar. Yah... aku memang sudah jauh dari Tuhan. Aku bahkan lupa kapan terakhir aku berdoa. Mungkin aku kurang mensyukuri apa yang selama ini sudah kumiliki.

Kututup pintu kamar, kumatikan lampu dan aku melipat tangan. Kuceritakan semuanya pada Tuhan  tentang apa yang sedang kurasa. Betapa lukanya hatiku, betapa pedihnya perjalanan hidupku. Aku percaya akan satu hal bahwa semua akan indah pada waktunya. Ya... aku yakin itu. Aku akan bangkit dari keterpurukan ini. Aku yakin aku pasti bisa sukses walaupun aku bukan seorang sarjana. Aku yakin aku bisa berhasil. Akan kukembalikan senyum ibu yang sudah lama hilang. Sakitnya hatiku akan menjadi penyemangatku. Dan mereka yang meninggalkanku akan melihat aku bangkit dan berhasil. Walau bermula dari cleaning service, aku yakin akan bisa.

Ternyata jalan menuju kesuksesan itu benar-benarlah tidak mudah. Ada banyak tanjakan, tikungan dan rintangan. Belum lama sebagai cleaning service aku sudah di-PHK, mencoba mengisi kekosongan sebagai loper koran, jadi sales dan bahkan menjadi tukang sapu jalan karena tidak ada pilihan lain. Tapi aku akan tetap bersemangat karena satu kata, semua indah pada waktunya jika bukan hari ini mungkin esok hari indah itu kan kugapai.

Tak lupa kuberi semangat kepada Bang Andi yang menjalani rehab. Kak Ika yang mulai move on pun bersemangat menjalani hari-harinya. Tak terasa dua tahun telah berlalu setelah kejadian buruk yang menimpa keluarga kami. Ibu sudah mulai bisa berbicara dan menggerakkan beberapa anggota tubuhnya setelah lama stroke. Kak Ika pun mendapat tawaran bekerja, Kak Vera dan Kak Rani akhirnya berhasil menyelesaikan studinya. Semua benar-benar keajaiban. Dan aku percaya akan mukzizat itu. Setelah setahun menjadi tukang sapu jalan aku menjadi Pembantu Rumah Tangga. Setidaknya inilah yang bisa kulakukan. Iseng-iseng melamar pekerjaan ke perusahaan asing, ternyata aku diterima. Walau awalnya dengan gaji yang minim tapi berkat kerajinan dan ketekunan semua menghasilkan kebahagiaan. Aku mendapat kenaikan pangkat di perusahaan itu.

Pagi ini, adalah awal aku pergi bekerja sebagai pimpinan unit di perusahaan asing itu. Semua benar-benar indah. Hari ini Bang Andi juga keluar dari ruang rehab dan dikatakan sudah sehat dan bebas dari pengaruh narkoba. Senyum sumringah menghiasi hari-hariku. Kehidupan kami benar-benar anugrah luar biasa. Di balik semua peristiwa yang buruk ada rencana Tuhan yang indah. Mungkin jika kehidupan kami tetap baik-baik saja aku takkan pernah berkumpul bersama abang, kakak dan adikku. Mungkin aku tetap terlena dengan uang ayah dan terus berfoya-foya. Mungkin aku akan menjadi anak manja. Mungkin Bang Andi tetap akan dalam pengaruh narkoba. Mungkin kalau ibu tidak sakit kami anak-anaknya tidak akan punya banyak waktu untuk bersamanya. Aku yakin Tuhan membuat ibu sakit agar kami lebih banyak waktu untuk bersamanya, mengurusnya dan merawatnya. Di balik semua peristiwa yang terjadi ada rencana indah dan luar biasa yang Tuhan persiapkan untuk kita. Hari ini benar-benar kurasakan apa artinya keluarga. Aku yakin walaupun ayah sudah tidak bersama kali lagi dia melihat kami. Dia melihat kebersamaan kami yang sekarang. Anak-anaknya yang dulu manja dan taunya menghambur-hamburkan uangnya sekarang semuanya berhasil. Sekarang semuanya sukses. Aku bangga pada diriku karena aku bisa membuktikan pada mereka yang dulu meninggalkan ku di saat keterpurukan. Aku bisa walau aku tidak bisa menyelesaikan kuliahku.

***
Setelah semua anak-anak ibu berhasil keluar dari keterpurukan ini, kami pergi ke makam ayah. Menaburkan bunga dan menyampaikan doa. Seolah-olah ingin mengatakan ayah lihat kami anak-anakmu sekarang kami sudah berhasil. Seadainya ayah masih di sini pasti kebahagiaan kami sekarang sempurna. Namun satu hal yang kupercaya apa pun yang kita miliki, harta, kekayaan atau apapun itu, semuanya adalah pemberian dari Tuhan dan kapanpun Dia dapat mengambilnya dari kita bahkan tanpa seijin kita. Tapi yakinlah semuanya kan indah pada waktunya. ***


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru