Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di bangku sekolah yang tersusun rapi dan bersih. Pandangannya ke bawah, tanpa melihat ke kanan maupun ke kiri, meski aku berada duduk di depannya.
Aku pun termanggu di sudut kelas terkadang melihatnya kemudian kembali ke pekerjaanku yang masih berupa sketsa. Seharusnya aku telah menyelesaikan dengan segera. Tetapi benakku hanya dipenuhi impian dan warna yang sama-sama bisa ku terjemahkan.
Pandanganku menerawang entah ke mana. Tiba-tiba siluet wajah seseorang menegaskan seiring suara riuh murid-murid yang perlahan terdengar jelas, seperti volume radio yang sedikit demi sedikit dinaikkan.
Wajah itu kini jelas melemparkan senyuman kecil kepadaku. Aku tidak bisa mengelak lagi dengan kegugupan yang ku coba sembunyikan, aku balas senyuman itu dengan menyengir. “Sandra, sedang apa,†tanyaku.
Wajah yang ramah itu kian melebarkan senyumannya. Ah, tak tahan aku melihatnya, tampaknya semakin kabur tema yang cocok untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang disuruh guru bahasaku.
Mungkin tema yang harus kuberikan kepada guru bahasaku adalah sebuah cerita kecil yang di sama ada seorang lelaki yang sedang jatuh cinta. Ya, di sana ada matahari berwarna oranye di langit biru. Senyuman dari wajah perempuan mengingatkan ku tentang pemandangan langit di pagi hari. Hangat dan damai.
Di sana ada seorang gadis remaja yang pendiam dan pemalu, yang duduk di kelas SMU, dia tidak lagi seorang gadis kecil melainkan seorang remaja putri yang menarik dan unik yang bermimpi menjadi seorang putri yang bisa terbang di antara awan dan berenang bersama putra putri lainnya.
Entah berawal dari mana harus kupersembahkan, namun tetap aku harus menceritakan bagaimana awal perjumpaan sehingga jatuhnya hati dan tenggelam di dunia mimpi dan mengambang di atasnya.
Jam telah menunjukkan pukul 20.30 malam, sudah setengah jam aku masih terdiam dan tersandar di bangku panjang ruang tamunya. Hanya memandang arloji yang melekat di tanganku, dan terkadang melihat raut wajahnya.
Ada pelangi yang menghiasi matanya sehingga aku berat untuk mengungkapkannya perasaan yang begitu dalam kurasakan. Dan inilah yang membuatku terdiam sampai 30 menit tidak dapat mengucapkan satu kata apapun kepadanya.
Kecuali hanya dua kata yang kusebutkan kepadanya, ‘terima kasih’ telah menyediakan aku secangkir teh manis di atas meja tamu yang dihiasi bunga-bunga mawar merah.
“San, maafkan aku karena sampai saat ini aku tidak dapat mengucapkan perasaanku kepadamu, walaupun dekat tapi terasa jauh,†untaian kata hatiku yang terus berbicara sendiri.
Jika kata-kata ini kutuliskan di sebuah surat, mungkin banyaknya telah mencapai tiga lembar, namun sampai 30 menit satu katapun tidak dapat kulontarkan kepadanya. Jujur aku bingung, mau memulainya darimana.
“Katakan, dari mana aku memulai pembicaraan ini?†jerit hatiku dan ingin mengetukkan kepalaku dengan tanganku sendiri karena begitu bodohnya aku tidak dapat menelurkan kata-kata mutiara.
Dring...Dring....
Bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktu belajar segera berakhir, untaian kata-kata yang telah kubuat menjadi terputus bagaimana untuk meneruskan kembali kalimat demi kalimatnya.
Aku kembali memandangnya, namun pandangannya tidak mengarahku melainkan ketua OSIS, ya Tuhan, aku telah membayangkan kalau dia menjadi temanku.
Kenyataannya, aku membuat bukan karena dirinya, melainkan tugas dari sekolah yang harus dikerjakan dirumah, atau ekstrakurikuler yang dapat diselesaikan dalam waktu yang cukup lama, namun aku suka padanya.
Bait demi baitnya kekagumanku dengannya hanya dapat tercurah melalui cerita pendek yang akan kuberikan kepada guru bahasaku. Mungkin endingnya tidak yang seperti kuperkirakan, malah sebaliknya.
Hanya perasaanku yang terpendam di dalam hati paling dalam yang mampu menggoyahkan tubuh ini hingga terbenam di dalamnya. Dan hancur berkeping-keping hingga tidak berbekas. Aku tak tahu entah sampai kapan rasa ini ku pendam untuknya. Tuhan bantu aku untuk mengungkapkan isi hatiku padanya.
(f)