Maria benci suara keras. Apalagi berteriak-teriak di daerah romantis. Ia malu karena tatapan orang yang berjalan santai di Red District menusuknya. Padahal yang bicara kuat itu Rendy, bukan Maria. Tetapi begitulah orang-orang di kota Menara Eiffel ini. Yang dilirik bukan lelaki namun perempuan yang mendampingi pria bersuara kuat.
Cepat-cepat ditariknya tangan Rendy. Bergegas menepi. Setelah turun di Stasiun Blanche, Maria minta kepatuhan Rendy untuk lebih baik menutup mulut. Jikapun ingin bertanya, upayakan seperti berbisik.
Pagi menjelang siang ini, Rendy ingin mengulang saat-saat mula bertemu Maria di Moulin Rouge di 82 Boulevard de Clichy Paris.
Waktu itu ia bersama pria-pria menyusuri deretan sex shop. Malu-malu ia menatap ketika seorang perempuan berkulit kuning langsat menubruk tubuhnya. Ketika meminta maaf, ia sadar bahwa di depannya ada seorang perempuan yang logat bicaranya seperti orang Indonesia.
Benar. Maria pun bersyukur karena selama belajar di Prancis, belum pernah bertemu dengan pria Indonesia yang terlihat santun. Rendy saat itu mengenakan kemeja dan pantalon.
Pertama bertemu, langsung ada suasana lain di jantungnya. Maria saja heran, kenapa Rendy langsung lengket di pikirannya. Padahal, ada Michel.
Jika dibandingkan dengan Michel, Rendy jauh kalah. Ketampanan, jelas Michel. Kaya, kemungkinan besar Michel lebih unggul karena ia pewaris perusahaan dan berhasil meluaskan cakupan bisnis keluarga. Lalu, apa yang kurang dari Michel? Itu... Rendy pria Indonesia, yang tahu adat-istiadat. Memahami dan mengamalkan bahwa mengenal seorang individu berarti mengenal lingkungan terdekat oknum tersebut.
Tidak seperti Michel. Sudah dua tahun dekat dengan Maria, pria romantis yang suka sekali memberi hadiah parfum itu hanya tahu Maria seorang. Padahal, Maria datang ke dunia bukan diturunkan dari Cathedrale Notre-Dame oleh malaikat, tapi dari keluarga Indonesia.
Ibunya mengandung Maria lebih 9 bulan. Maria punya keluarga yang harus disapa, yang harus berbagi bila gajian. Michel pun seperti itu. Kekayaannya awalnya bersumber dari keluarganya hingga tidak boleh berjarak sedikit pun. Tetapi Michel tidak mau peduli.
Apa yang dikasihnya pada Maria, tidak boleh dinikmati orang lain. Michel justru marah jika pemberiannya pada Maria diberikan pada orang lain siapapun itu.
Senja ini adalah petang kesekian jalan bersama Rendy. Meski beda keyakinan, Rendy rutin mengantar Maria beribadah. Tetapi kali ini naas. Saat khusyuk berdoa di Basilique Du Sacre-Coeur, Michel datang dan mengajaknya ke luar.
Sampai di luar, ia marah-marah. Michel berang karena Rendy yang mendampingi Maria ke gereja.
“Tapi selama ini kamu tidak mau diajak mengantar aku, Michel!†elak Maria. Di hatinya terdalam, ia mengaku salah. Pergi dengan pria lain saat masih menjalin kasih dengan lelaki lain. “Aku tak mau mengganggu kesibukanmu!â€
“Sekarang kaupilih aku apa pria miskin itu!â€
Maria terdiam. Ia menunduk. Jika berbanding kekayaan Michel, Rendy tak ada apa-apanya. Tetapi, Rendy dapat menghadirkan kebahagiaan melebihi apa yang selama ini dipersembahkan Michel.
“Perempuan bodoh!â€
Rendy tersinggung. Ia tak ingin ada seorang pun menghina Maria. Apalagi pria yang selama ini disebut Maria sudah menyakitinya. Tetapi ketiak Rendy mendekat, ia cepat-cepat menarik Rendy dan bermohon tidak usah ikut campur.
Michel makin marah. Ingin ditinjunya Rendy. Ia benci. Apalagi pria tersebut si pengganggu hubungannya dengan Maria. Meski sudah menahan emosi, ia ludahi Maria.
Sejak saat itu, Maria tak mau berkomunikasi dengan Michel. Yang jadi ganjalan, soal keyakinan. Banyak sekali pertimbangan di hatinya tapi karena hanya ada pria Indonesia di rantau, Rendy juga pilihannya.
Bersama senja, Maria meniti hari indahnya. Tiap hari, bila petang datang, sepulang kerja, berdua bersama Rendy merajut kasih. Meski bila beribadah ia hanya diantar sampai depan pintu, tapi dalam doa Maria minta pada-Nya agar perbedaan tidak mengurangi kasih di antaranya. (f)