Makassar (SIB) -Pegunungan Seko berada di wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulsel, dan termasuk wilayah yang terisolasi. Di atas sana, berdiri Desa Rampik. Namun hal itu tidak membuat tekad dr Widyastuti surut untuk melayani masyarakat.
Seko berada di perbatasan antara Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Lokasi ini berjarak kurang-lebih 100 Km dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara, Masamba. Untuk mencapai lokasi ini, ada dua jalur yang dapat ditempuh, yaitu via darat dan udara.
"Saya bertugas di Puskesmas Rampik. Aksesnya ke sana yang berat, aksesnya itu kalau lewat darat naik ke Rampik bisa dua sampai 3 malam dan menginap di hutan," kata Widya saat ditemui di Makassar, Sulsel, Selasa (13/11).
Untuk jalur darat, satu-satunya kendaraan yang bisa digunakan adalah kendaraan roda dua atau dengan menyewa ojek. Namun harga ojek di sana bisa masuk daftar harga ojek paling mahal se-Indonesia.
"Saya tahun 2014 menyewa ojek ke Rampik. Harga menyewa ojek untuk sampai ke Puskesmas saya senilai Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Sekarang karena ada pelebaran jalan, sedikit turun, Rp 500 ribu," ungkapnya.
Widyastuti adalah perempuan yang berasal dari tanah Luwu. Pengangkatan PNS jadi sana. Setelah mendapatkan gelar dokter di sebuah universitas swasta di Makassar, dia memilih pulang kampung untuk mengabdi.
"Paling dramatis pengalaman pekerjaan saya ada di Rampik. Alhamdulillah sampai sekarang, saya satu-satunya dokter di sana," ujar gadis lajang ini.
Pada suatu malam, kata Widya, dia mendapatkan permintaan membantu persalinan seseorang pada tengah malam dari warga di Desa Bondoa, yang berjarak beberapa kilometer dari Puskesmasnya. Pengalaman yang tidak dilupakannya itu adalah saat berangkat pada malam hari dengan tidak adanya penerangan di jalan plus angin yang berembus kencang untuk menjemput bayi dan dibawa ke Puskesmasnya.
Pernah juga, lanjutnya, dia harus menerbangkan seorang warga yang terluka parah di bagian dada karena diseruduk kerbau. Biasanya, perjalanan dengan udara hanya menempuh waktu 20 menit lewat bandara perintis.
Namun saat itu, kondisi udara yang tengah buruk membuat pesawat harus berputar selama 1 jam 40 menit di udara. Beruntung, sang pasien berhasil bertahan dan selamat hingga rumah sakit.
"Saya tidak pernah lupa, saya harus jemput bayi yang baru dilahirkan untuk dibawa ke Puskesmas dibawa pakai motor sambil bayinya saya gendong," katanya.
Dia mengaku menjadi seorang dokter di daerah pegunungan tidaklah mudah. Ketidakmudahan itu salah satunya dengan mengikuti ritme kerja masyarakat yang pada umumnya petani. Otomatis jam kerja PNS tidak berlaku di sana.
"Untuk kita ketemu keluarga tiap hari tidak mungkin karakter masyarakat yang masih tradisional dan cerita mistis dan mereka masih ada yang tabu datang ke Puskesmas. Jadi kita yang datangi pasien," ucapnya.
"Di sana daerah pertanian, mata pencaharian bertani dan berkebun. Pagi mereka prioritas kerja daripada sadar kesehatan. Kami tidak punya jam dinas, kami biasa layani sore hari hingga malam," tambahnya. (detikcom/f)