Jumat, 22 November 2024

Antoni Tsaputra Terinsipirasi Stephen Hawking

- Minggu, 25 Maret 2018 12:47 WIB
1.693 view
Antoni Tsaputra Terinsipirasi Stephen Hawking
Antoni Tsaputra
Keterbatasan tidak menghalangi Antoni Tsaputra, seorang difable, untuk mengejar mimpi. Pemuda asal Padang, Sumatera Barat ini, penuh prestasi meski hanya bisa menggerakkan kepala, tangan dan jari-jarinya secara terbatas.

Antoni Selasa (28/3) menceritakan sejak kecil menderita physical impairment berat. Evaluasi medis mendiagnosa dia memiliki muscular dystrophy, yang membuat fungsi otot dan gerak menurun secara degenerative.

Saat ini, Antoni masih kuliah di Universitas New South Wales, Australia mengambil program Doktor dengan beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP. Dia menargetkan bisa merampungkan kuliahnya pada Maret 2019.  

Sebelumnya, Antoni kuliah S2 di Griffith University di Brisbane, Australia bidang Journalism and Mass Communication. Kuliah ini dibiayai oleh pemerintah Austaralia melalui Australia Award. Antoni, menyelesaikan S1 di Universitas Andalas Padang bidang Sastra Inggris, dengan beasiswa Bung Hatta. "Untuk GPA S2 saya, 6.70 dengan 95% nilai courses yang diambil high distinction. Untuk S3 tidak ada GPA, yang ada peringkat assessment untuk annual review dan sejauh ini diberikan kategori teratas," kata Antoni. 

Antoni rupanya mengagumi sosok Stephen Hawking, fisikawan jenius dari Inggris, yang juga penyandang disabilitas. Dia mengatakan Hawking adalah salah satu sosok yang menginspirasi buatnya. Tidak hanya karena latar belakang difablenya yang hampir sama dengan Hawking, tetapi karena pemikirannya yang revolusioner dan perseverance dan persistence untuk melahirkan pengetahuan.

Kepada para difable lainnya, Antoni pun menyerukan agar terus menyebarkan virus positif bahwa difabel mampu berkontribusi dan berperan di tengah masyarakat dan berprestasi di bidang apapun dengan cara yang bisa dilakukan para difabel.

Hidup di negeri orang dengan keterbatasan gerak tubuh, dibuktikan Antoni bukan perkara besar baginya. Dia mengatakan kursi roda elektrik memudahkannya dalam bergerak. Sedangkan untuk mandi, berpakaian dan makan dibantu oleh istrinya. Sedangkan untuk pindah dari dan ke kursi roda dia dibantu dengan lifting hoist semacam alat bantu gendong.

Antoni menceritakan teman-teman penerima beasiswa pada umumnya, ada perasaan kagum dan haru menyelimuti pedalaman hatinya ketika untuk pertama kali tiba di Negeri Kangguru, satu negara yang sudah maju. "Di Australia, ada berbagai kemudahan yang bisa saya nikmati, tetapi juga sedikit gegar budaya dan homesick tentunya," kata Antoni.

Namun demikian, Antoni mengaku tak sulit menyesuaikan diri karena dibantu oleh teman-teman Indonesia di Australia dan warga Australia yang menjadi sahabat dekat. Ketika sudah menikah, Antoni banyak dibantu oleh istri untuk makan, minum dan aktivitas lainnya.

Reaksi masyarakat Australia dan masyarakat negara lain yang ada di Australia, sangat beragam. Namun sebagian besar memberikan reaksi positif. Ada yang menyatakan salut atas tekadnya, termasuk saat dia melanjutkan sekolah ke jenjang S3 yang sangat berat, tetapi ada yang tersadar bahwa penyandang disabilitas dari Indonesia banyak yang bisa sekolah tinggi, sedangkan di beberapa negara Timur Tengah misalnya masih sulit penyandang disabilitas mengakses pendidikan.
"Dari cerita teman-teman difabel di Australia, pola pikir sebagian masyarakat masih menjadi masalah dimana disability masih dilihat sebagai inability. Bedanya, menurut saya teman-teman difabel di Australia punya sumber-sumber dan support network yang lebih besar serta didukung dengan ketersediaan accessibility untuk gradually memperbaiki mindset tersebut," kata Antoni.

Sementara di Indonesia, umumnya masyarakat Indonesia seringkali menyamakan difabel fisik, terutama yang berkursi roda, dengan orang yang sedang sakit.
Sebagai contoh, setiap kali bepergianuntuk tujuan kerja dengan sebuah maskapai ternama di Indonesia, pramugari selalu bertanya 'bapak lagi sakit dan mau berobatya?'. (T/l)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru