Hakim PN Tanjungbalai Jatuhkan Vonis Mati Tiga Terdakwa Kasus 117 Kilo Sabu
Tanjungbalai (harianSIB.com)Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Tanjungbalai akhirnya menjatuhkan vonis mati terhadap tiga terdakwa ka
Apalagi, dalam situasi sulit seperti hari ini, barang siapa yang berpura-pura menjadi malaikat dalam sehari, menebar uang dan menyetor tampang manis, pura-pura memeluk rakyat miskin, pura-pura menangis melihat penderitaan masyarakat, maka secara tak sadar mereka telah menanamkan kesan baik ke dalam memori pemilih, lalu men-drive alam bawah sadar pemilih untuk meletakkannya pada prioritas pertama untuk dipilih.
Seperti kata juru propaganda Hilter, Joseph Goebbels, jika sebuah kebohongan diceritakan secara terus menerus, maka lama kelamaan akan menjadi kebenaran. Nah, itulah yang terjadi dengan kesan-kesan baik yang dibangun oleh para kandidat. Selama setahun atau bahkan dua tahun, rakyat di daerah dijejali dengan spanduk dan billboard "malaikat" yang bisa menyelamatkan daerah di masa depan, maka para kandidat tersebut akan menjadi malaikat pada ujungnya di mata masyarakat. Begitulah rekayasa persepsi dilakukan.
Baca Juga:
Jadi bagimanapun, secara teknis, pemilihan memang tak ubahnya "gawean" industri yang menggunakan iklan sebagai instrumen untuk menarik pembeli. Toh memang para kandidat di dalam pemilihan berjuang untuk populer terlebih dulu, layaknya produk pasta gigi atau minuman kemasan botol, sebelum bisa diterima publik (acceptable), lalu dicoblos (electable). "The elections are run by the same industries that sell toothpaste on television", kata Noam Chomsky.
Di dalam proses mencapai taraf populer itu, para kandidat memang menggunakan prinsip-prinsip humas dan periklanan, kerap disebut sebagai "political marketing", yakni menjual "selling point", menutup-nutupi kekurangan, melakukan "black campaign" terhadap produk saingan dari industri yang sama, dan menjanjikan segala hal yang kadang sulit diterima akal, persis seperti iklan-iklan yang hiperbolik itu.
Baca Juga:
Oleh karena itu, pelan-pelan sejak 20 tahun ke belakang kita pun mulai melihat pemilihan di Indonesia adalah buah dari "industri politik", yang membutuhkan investasi besar, strategi pemasaran yang mumpuni, dan tim public relations dan periklanan yang handal. Boleh jadi perbedaannya hanya ada pada tataran idealitas, bukan realitas. Idealnya, pemilihan adalah realisasi kedaulatan rakyat, yang dioperasionalisasikan secara demokratis, dengan konsep "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".
Namun realitasnya tentu tidak demikian. Hari ini, hanya orang yang bermimpi di siang bolong saja yang masih berani mengatakan bahwa pemilihan adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Hanya suaranya dari rakyat, dijalankan oleh KPU dan organisasi politik di bawah supervisi pemerintahan, dan diperuntukkan entah untuk siapa setelah pemilihan, hanya Tuhan dan rumput yang bergoyang yang mengetahuinya. Jika idealitas itu terjadi selama ini, Indonesia sudah maju. Sesederhana itu saja sesungguhnya logikanya.
Logika dan analogi yang sama juga berlaku bagi Pilkada, pemilihan di tingkat provinsial dan lokal. Mungkin dinamikanya tidak terlalu progresif dibanding pemilihan di tingkat nasional. Apalagi di daerah-daerah yang jauh dari pengaruh pusat. Jualan pasta giginya terkadang masih sangat konvensional, spanduk-spanduk dan billboard bertebaran sepanjang jalan bahkan ke semak-semak perkebunan di daerah. Saat calon kepala daerahnya diminta untuk diwawancarai oleh media, mereka malah minta waktu lama untuk mengonfirmasi, karena sebenarnya bingung mau menyampaikan apa. Realitas yang sungguh kontras dengan displai foto mereka yang gagah dan berani di billboard dan spanduk.
Pada daerah-daerah tertentu memang sedangkal itu realitasnya. Bukan strategi pemasaran yang diutamakan, tapi strategi "permodalan" untuk "vote buying". Membeli suara pemilih dengan beberapa lembaran ratusan ribu rupiah, untuk kemudian digandakan setelah terpilih, tentu dengan uang yang asalnya dari rakyat (pajak). Logika investasi yang sangat sederhana, dengan mesin "penjualan" yang juga masih sangat konvensional.
Sehingga pertanyaannya kemudian adalah apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang dipilih berdasarkan keberhasilan mereka dalam membuat materi iklan yang bagus atau pemimpin terpilih berkat kemampuannya dalam menyogok pemilih "di depan", lalu menipunya "di belakang?" Jawabanya tidak ada.
Karena itulah cara-cara demikian harus kita rakyat lawan. Namun mau melawan pakai apa? Anak muda, terutama generasi milenial dan Gen Z sangat mengandalkan indera post truth-nya, senang dengan kesan-kesan yang dibangun sedemikian rupa, sehingga membuka peluang bagi calon pemimpin yang memiliki mesin iklan yang handal untuk memanipulasinya.
Pun pemilih pada umumnya tak bisa menolak tawaran uang. Apalagi hari ini, hidup serba sulit. Dua sampai lima lembaran seratus ribu rupiah tentu sangat berharga bagi masyarakat banyak, terutama kalangan menengah ke bawah.
Memang tidak ada jaminan uang tersebut akan berbuah coblosan. Tapi sebagaimana karakter masyarakat Indonesia pada umumnya, uang adalah bahasa lain dari kontrak politik secara tidak tertulis. Barang siapa yang telah menerima uang, akan merasa berutang moral kepada pemberi.
Namun lepas dari itu, Pilkada merupakan agenda rutin politik yang harus dijalankan. Penguasa-penguasa di daerah tentu harus dirotasi, agar tidak terjadi penguasaan kekuasaan di tingkat lokal hanya di satu tangan dan orang itu ke itu saja dalam waktu yang lama, yang justru jauh lebih berbahaya. Oleh karena itu, rotasi kepemimpinan daerah harus dilakukan. Legitimasi penguasa di daerah harus diperbarui, terlepas seperti apa prosesnya, karena begitulah amanat perundang-undangan yang ada.
Untuk itu, seberapa pesimispun kita, optimisme harus tetap diselipkan di sela-selanya, agar Pilkada serentak memang berpeluang fungsional untuk daerah lima tahun mendatang. Logika sederhananya, jika semua kandidat buruk, maka upayakan memilih yang paling sedikit keburukannya untuk menang. Jika semua kandidat baik, maka upayakan agar yang terbaik dari yang baik tersebut yang terpilih. Lantas bagaimana menilainya?
Ada cara sederhana yang juga bisa digunakan untuk membekali pemilih ke ruang pencoblosan. Cara tersebut tergambar dengan baik dari pernyataan Franklin Pierce Adams, yang berbunyi " Elections are won by men and women chiefly because most people vote against somebody rather than for somebody".
Jika memang menurut Anda salah satu kandidat buruk, merugikan atau berpotensi merugikan Anda selama ini atau nanti, maka pilihlah lawannya yang menurut Anda tidak terlalu buruk. Konon, menurut Pierce Adams, logika pemilih semacam itu banyak digunakan di berbagai tempat. Logika tersebut setara dengan tujuan pemilihan dari Pippa Norris yang saya kutip di atas, yakni "to kick the rascals out". Untuk menyingkirkan para bajingan politik dari arena politik, maka Anda harus memilih lawannya. Sesederhana itu.
Dengan kata lain, masyarakat umum memang tak membutuhkan banyak teori layaknya para pengamat dan analis politik. Teori yang paling rill adalah berkaca kepada kehidupan pribadi pemilih saja, dikaitkan dengan siapa penguasa daerah nantinya. Jika pilihan politik justru akan menyulitkan kehidupan pemilih ke depannya, tanpa banyak teori pun pemilih akan menolak memilih calon pemimpin tersebut. Begitu juga sebaliknya. Artinya, pilihlah yang menurut Anda terbaik versi kepentingan pribadi Anda di masa depan, bukan hanya di mata Anda untuk sehari dua hari ke depan, karena uang 200-500ribu toh hanya cukup untuk beberapa hari saja. Semoga.(Penulis Dosen Pascasarjana Universitas Darma Agung Medan)
Tanjungbalai (harianSIB.com)Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Tanjungbalai akhirnya menjatuhkan vonis mati terhadap tiga terdakwa ka
Lubukpakam (harianSIB.com)Pasca putusan dismissal Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 152/PHPU.BUPXXIII/2025, tertanggal 4 Februari 2025, KPU De
Binjai (harianSIB.com)Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Binjai menggelar rapat pleno terbuka penetapan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wal
Medan (harianSIB.com)Pimpinan Wilayah Bulog Sumatera Utara, Budi Cahyanto, menegaskan pembelian gabah dan beras dari petani dengan Harga Pem
Medan (harianSIB.com)PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut menyatakan siap mengikuti kebijakan pemerintah yang kembali membolehkan pen