Kamis, 06 Februari 2025

Optimisme Minimalis Jelang Pilkada Serentak

Oleh: Jannus TH Siahaan
Redaksi - Senin, 25 November 2024 16:03 WIB
445 view
Optimisme Minimalis Jelang Pilkada Serentak
Foto Dok/Pribadi
Jannus TH Siahaan
Pippa Norris, pakar pemilihan umum dari Harvard University mensyaratkan bahwa salah satu fungsi pemilihan umum adalah "to kick the rascals out" alias untuk menendang para bajingan keluar dari arena pemilihan alias membuat mereka kalah. Dengan kata lain, menempatkan kandidat-kandidat terbaik sebagai gantinya adalah sisi lain dari mata uang yang sama dengan fungsi tersebut. Tapi lagi-lagi bagaimana cara melakukan itu, karena semua kandidat mem-branding dirinya baik dan suci, melalui cara dan strategi iklan yang nyaris sulit ditolak oleh pemilih.

Apalagi, dalam situasi sulit seperti hari ini, barang siapa yang berpura-pura menjadi malaikat dalam sehari, menebar uang dan menyetor tampang manis, pura-pura memeluk rakyat miskin, pura-pura menangis melihat penderitaan masyarakat, maka secara tak sadar mereka telah menanamkan kesan baik ke dalam memori pemilih, lalu men-drive alam bawah sadar pemilih untuk meletakkannya pada prioritas pertama untuk dipilih.

Seperti kata juru propaganda Hilter, Joseph Goebbels, jika sebuah kebohongan diceritakan secara terus menerus, maka lama kelamaan akan menjadi kebenaran. Nah, itulah yang terjadi dengan kesan-kesan baik yang dibangun oleh para kandidat. Selama setahun atau bahkan dua tahun, rakyat di daerah dijejali dengan spanduk dan billboard "malaikat" yang bisa menyelamatkan daerah di masa depan, maka para kandidat tersebut akan menjadi malaikat pada ujungnya di mata masyarakat. Begitulah rekayasa persepsi dilakukan.

Baca Juga:

Jadi bagimanapun, secara teknis, pemilihan memang tak ubahnya "gawean" industri yang menggunakan iklan sebagai instrumen untuk menarik pembeli. Toh memang para kandidat di dalam pemilihan berjuang untuk populer terlebih dulu, layaknya produk pasta gigi atau minuman kemasan botol, sebelum bisa diterima publik (acceptable), lalu dicoblos (electable). "The elections are run by the same industries that sell toothpaste on television", kata Noam Chomsky.

Di dalam proses mencapai taraf populer itu, para kandidat memang menggunakan prinsip-prinsip humas dan periklanan, kerap disebut sebagai "political marketing", yakni menjual "selling point", menutup-nutupi kekurangan, melakukan "black campaign" terhadap produk saingan dari industri yang sama, dan menjanjikan segala hal yang kadang sulit diterima akal, persis seperti iklan-iklan yang hiperbolik itu.

Baca Juga:

Oleh karena itu, pelan-pelan sejak 20 tahun ke belakang kita pun mulai melihat pemilihan di Indonesia adalah buah dari "industri politik", yang membutuhkan investasi besar, strategi pemasaran yang mumpuni, dan tim public relations dan periklanan yang handal. Boleh jadi perbedaannya hanya ada pada tataran idealitas, bukan realitas. Idealnya, pemilihan adalah realisasi kedaulatan rakyat, yang dioperasionalisasikan secara demokratis, dengan konsep "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".

Namun realitasnya tentu tidak demikian. Hari ini, hanya orang yang bermimpi di siang bolong saja yang masih berani mengatakan bahwa pemilihan adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Hanya suaranya dari rakyat, dijalankan oleh KPU dan organisasi politik di bawah supervisi pemerintahan, dan diperuntukkan entah untuk siapa setelah pemilihan, hanya Tuhan dan rumput yang bergoyang yang mengetahuinya. Jika idealitas itu terjadi selama ini, Indonesia sudah maju. Sesederhana itu saja sesungguhnya logikanya.

Editor
: Bantors Sihombing
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru