Keberhasilan suatu pekerjaan sangat tergantung sejauh mana sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Dengan sumber daya manusia yang bermutu, unggul dan punya karakter yang bagus, maka dengan sendirinya akan berproses dengan baik dalam mencapai apa yang jadi tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai. Begitu juga dengan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang baik. Dengan SDM yang baik, bahkan akan berdampak besar (multiplier effect) terhadap terbangunnya budaya mutu dalam satu organisasi.
Pemerintah merupakan suatu organisasi yang disebut organisasi publik. Tentu di lingkungan pemerintahan banyak potensi dan sumber daya (uang) yang dikelola. Agar pengelolaan ini bisa berjalan dengan baik, maka SDM yang bermutu dan juga budaya mutu dalam organisasi itu harus diciptakan. Budaya mutu adalah suatu kondisi yang harus diciptakan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini pemerintah sangat serius menekankan fungsi pengawasan bisa mendukung tatanan pemerintahan yang bersih (good governance and clean government). Bahkan dalam rangka menyukseskan pengawasan, secara internal pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang "Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah". Ini merupakan wujud nyata dari amanah Pasal 353 dalam rangka memberi kepastian hukum terhadap tata cara pengenaan sanksi administratif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 383 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
SDM dan Mutu Pengawasan
Untuk meningkatkan sumber daya manusia dan mutu pengawasan tersebut dalam lingkungan pemerintahan dilaksanakan oleh Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tersebut berkorelasi dengan terwujudnya cita-cita pemerintahan, yaitu pemerintah yang bercirikan transparansi dan bersih dari segala bentuk KKN. Secara umum konsep pengembangan SDM pengawasan (APIP) bisa mengacu pada beberapa hal, yakni: Pertama, melalui pelatihan. Pelatihan bertujuan untuk mengembangkan individu dalam bentuk peningkatan keterampilan, pengetahuan dan sikap. Kedua, pendidikan. Pengembangan SDM melalui pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kerja, dalam arti pengembangan bersifat formal dan berkaitan dengan karir. Ketiga, pembinaan. Pembinaan bertujuan untuk mengatur dan membina manusia sebagai sub sistem organisasi melalui program-program perencana dan penilaian, seperti kekuatan perencanaan, kinerja, menganalisis tugas, kemampuan mengklasifikasi masalah dalam pengawasan dan lain-lain.
Keempat, rekrutmen. Rekrutmen ini bertujuan untuk memperoleh SDM pengawasan sesuai klasifikasi kebutuhan organisasi dan sebagai salah satu alat organisasi dalam pembaharuan dan pengembangan. Kelima, melalui perubahan sistem.
Perubahan sistem memiliki tujuan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur organisasi sebagai jawaban untuk mengantisipasi ancaman dan peluang faktor eksternal (Prof. Sondang P Siagian: Manajemen Sumber Daya Manusia: 2011).
Jika kelima hal di atas bisa dilakukan dengan objektif, SDM pengawasan kita bisa bekerja dengan baik. SDM yang bermutu dengan sendirinya bisa membangun terwujudnya budaya mutu dengan baik. Tetapi sebelum kita sampai pada budaya mutu, ada kalanya kita bisa memahami apa itu budaya organisasi dengan baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli seperti Gibson et.al. (1996:77) merumuskan, "Kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku". Kreitner dan Kinicki (2003:68-75) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota, mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota. Luthans (1998:213) mengemukakan, budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.
Kemudian Sharplin (1995:225) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Stoner et.al. (1996:246) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi.
Davis (1984:198) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Menurut Noe dan Mondy (1993:235), budaya organisasi adalah sistem dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan (Sumber: gedeyenuyani.blogspot.com/2012/03).
Dari pengertian di atas, dapat kita lihat mutu itu berhubungan dengan komitmen, nilai, keyakinan, visi kedepan, kerjasama tim yang semuanya ini sangat dibutuhkan. Tentu dukungan SDM di bidang pengawasan yang bermutulah bisa mendorong pengawas Inspektorat Provinsi dan Kabupaten misalnya bisa melahirkan budaya mutu di lingkungan pemerintahan agar pemerintah itu bersih dan bercirikan "good governance".
Untuk itu, pendapat Nasution (2005:255) mengenai karakteristik organisasi yang memiliki budaya mutu bisa dipedomani oleh pemerintah agar fungsi pengawasan itu berjalan dengan baik, yaitu komunikasi yang terbuka dan kontinyu, kemitraan internal yang saling mendukung, pendekatan kerjasama tim dalam suatu proses dan dalam mengatasi masalah, obsesi terhadap perbaikan terus-menerus, pelibatan dan pemberdayaan karyawan secara luas dan menginginkan masukan dan umpan balik/feed back dari pelanggan.
Dengan adanya mutu dalam menjalankan fungsi pengawasan, maka cita-cita membangun pemerintahan bercirikan good governance bisa terwujud dengan baik. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) sebagaimana dikutip oleh Koesnadi mengemukakan, bahwa prinsip-prinsip Good Governance terdiri atas: 1) Participation (partisipasi), partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2) Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan diperlakukan tanpa pandang bulu, terutama hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia, 3) Tranparancy (transparansi). Transparansi dibangun atas arus informasi yang bebas, 5) Responsiveness. Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan (masyarakat), 6) Consensus Orientation. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur, 7) Equity (kesetaraan atau keadilan). Semua pria dan wanita mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka, 8) Effektiveness and Efficiency. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin, dan 9) Accountability. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Ciri-ciri pemerintahan yang baik, pemerintahan yang bersih, tata kelola yang terukur, adalah tujuan yang ingin kita capai. Apabila kita menginginkan pemerintahan yang baik dan bersih maka fungsi pengawasan harus dioptimalkan atau dimaksimalkan pula. Pengoptimalan dan pemaksimalan fungsi pengawasan dalam lingkungan pemerintahan perlu dukungan sumber daya manusia yang bermutu. Dengan demikian budaya mutu dalam bekerja bisa dikedepankan sehingga fungsi pengawasan itu bisa berjalan dengan baik.
Harapan kita kepada pemerintah yaitu berjalannya fungsi pengawasan dengan baik dan bisa mendukung pemerintahan yang baik pula (good governance). Untuk mendukung fungsi pengawasan yang profesional, terukur tentu butuh dukungan SDM pengawasan yang bagus pula. Peningkatan SDM pengawasan dalam hal ini inspektorat Provinsi dan Kabupaten bisa berjalan dengan baik sangat tergantung pada komitmen pemerintahan itu. Kesimpulannya adalah, "Apabila fungsi pengawasan bisa berjalan dengan baik, harus didukung oleh pengawasan yang bermutu dan pada akhirnya dampaknya adalah terbangun budaya mutu dalam pengawasan yang bisa mendukung tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih yang bermuara pada keberhasilan tujuan pembangunan daerah.
(Penulis adalah Auditor Madya di Inspektorat Daerah Provinsi Sumut/h)