Saat bintang laga kawakan Steven Seagel ditanya apa yang dia lakukan ketika amarah tak terkendali datang saat sedang bekerja, ia mengungkapkan hal yang terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan membawa masalah tersebut sebagai latihan bagi diri. Sebagai manusia, ketika terluka kita akan berdarah seperti layaknya orang lain, sama halnya amarah tersebut. Dengan latihan mengatasi amarah, luka, dan kemelekatan, kita akan menjadi lebih kuat. Kita membawa semua permasalahan tersebut ke hadapan Sang Buddha, ke hadapan para pelindung, dan sucikan pikiran.
"Barang siapa dapat menahan kemarahan yang sedang memuncak, bagai menahan kereta yang sedang melaju, maka dia disebut sebagai sais sejati."(Dhammapada 222)
Ketika seseorang batinnya dikuasai kemarahan, maka dia tidak dapat melihat dengan jelas masalah yang sedang terjadi, karena pikirannya didominasi oleh emosi negatif sehingga logikanya tidak berfungsi dengan baik. Berbicara tentang kemarahan tentunya kita tidak ingin kehidupan kita diracuni oleh kemarahan. Kemarahan yang sudah terlanjur tertanam dalam batin akan menjadi candu ketika ada pemicunya.
Keseimbangan batin merupakan salah satu faktor mental yang dapat mengatasi kemarahan. Keseimbangan batin muncul dalam diri seseorang ketika dia melatih meditasi sampai tingkat konsentrasi tertentu. Tetapi, bukan berarti seseorang yang tidak berlatih meditasi tidak dapat memiliki keseimbangan. Orang yang berlatih meditasi akan memiliki keseimbangan, asal dia dapat masuk dalam konsentrasi tertentu sampai ketenangan dan keheningan diperoleh. Saat tenang dan hening, maka dia bergeming atas kondisi sekitarnya, artinya dia tidak terganggu oleh hal-hal yang tidak menyenangkan. Keseimbangan batin bisa muncul karena seseorang sering masuk dalam ketenangan dan keheningan, dan dapat mempertahankan kondisi tersebut dalam waktu tertentu. Keseimbangan batin bisa dikembangkan, semacam keterampilan yang dapat dilatih. Mempertahankan keseimbangan batin dalam kondisi yang tidak menyenangkan dapat mengatasi kemarahan.
Dalam Brahmajala Sutta, Buddha menasihati para bhikkhu untuk tidak marah, tersinggung, ataupun terganggu ketika ada seseorang yang menghina Buddha, Dhamma, dan Sagha. Karena dengan marah atau pun tidak senang ini akan menjadi rintangan batin, dan tentunya menjauh dari kedamaian. Di samping itu, Buddha juga menjelaskan bahwa dengan kemarahan, menuntup mata seseorang untuk dapat mengetahui apakah sesungguhnya yang dikatakan itu benar atau salah (D. 1. p. 68). Visuddhimagga memberikan ilustrasi menarik mengenai kemarahan. Dikatakan bahwa dengan marah, seseorang mungkin bisa membuat orang lain menderita atau terkadang tidak. Tetapi dengan marah sudah barang tentu menghukum dirinya sendiri di waktu itu juga (Vsm. p. 296). Ini seperti halnya seseorang yang mengambil bara api atau tahi dengan tangannya untuk melukai orang lain, sebelum ia melemparnya ke orang lain sudah barang tentu dia terluka atau terkotori lebih dulu (Vsm. p. 297).
Dalam Vatthpama Sutta, kemarahan (kodha) merupakan salah satu dari enam belas gangguan mental yang disebutkan (cittassa upakkiles: M. 7. p. 118). Sementara dalam Sallekha Sutta, di sana disebutkan empat puluh empat gangguan jiwa yang salah satunya adalah kemarahan (M. 8. p. 126). Tanpa meninggalkan kemarahan seseorang tidak akan mungkin bisa mencapai kesucian (A. p. 1326). Maka dari itu, kemarahan seharusnya dibasmi sampai ke akar-akarnya.
Dalam Vammika Sutta, kemarahan digambarkan sebagaimana katak (M. 23. p. 239). Sementara dalam Catuma Sutta, kemarahan diibaratkan sebagaimana sebuah ombak yang merupakan salah satu rintangan bhikkhu yang menyebabkannya melepaskan kebhikkhuannya (M. 67. p. 563; A. p. 503). Orang yang mudah marah dan gusar, hilang kesabarannya, jengkel, melawan, dan keras kepala saat dikritik, diibaratkan sebagaimana orang memiliki pikiran bagaikan luka yang terbuka. Sebagaimana luka yang bernanah akan mengeluarkan banyak cairan, demikian pula mereka yang mudah marah (A. p. 219-220). Apapun itu, kemarahan selalu menjadi perintang dalam hal apapun. Kemarahan menyebabkan seseorang menjauh dari kedamaian karena ketika kemarahan menguasai seseorang, seseorang tidak berada dalam suasana yang tenang, tetapi dalam suasana penuh kebencian.
Melihat jerat kematian yang bersembunyi di balik kemarahan, seseorang harus memotongnya dengan pengendalian diri, kebijaksanaan, kegigihan, dan pandangan benar (A. p. 1066-1069). Ada lima cara mengatasi kemarahan yang muncul, yaitu: mengembangkan cinta kasih (metta) terhadap orang yang membuatnya marah, mengembangkan belas kasih (karuna) terhadap orang yang membuatnya marah, mengembangkan keseimbangan batin (upekkha) terhadap orang yang membuatnya marah, mengacuhkan (asatiamanasikaro) orang yang membuatnya marah dan tidak memperhatikannyadan menerapkan gagasan kamma (kammassakata) kepada orang yang membuatnya marah. Seperti orang ini adalah pemilik kammanya sendiri, pewaris kammanya sendiri; dia memiliki kamma sebagai asal mulanya, kamma sebagai saudaranya, kamma sebagai tempat peristirahatannya; dia akan menjadi pewaris atas kamma apa saja yang dilakukannya, baik atau buruk' (A. p. 773-774).
Dengan demikian, diharapkan seseorang mampu mengontrol kemarahannya ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Kesabaran sangat berperan penting dalam mengontrol kemarahan. Oleh karena itu, ujian kesabaran bisa datang kapan saja, dan seseorang harus siap menghadapinya.