Bagi banyak orang, kematian adalah salah satu ketakutan besar . Mengapa manusia takut mati? Dadul Namgyal, seorang rahib Buddha Tibet yang memulai studi Buddhisnya pada tahun 1977 di Institute of Buddhist Dialectics di Dharamsala, India, dan melanjutkan untuk mendapatkan gelar Geshe Lharampa yang bergengsi pada tahun 1992 di Universitas Monastik Drepung Loseling, India Selatan saat diwawancara George Handy mengungkapkan pada dasarnya seseorang takut mati karena dirinya mencintai kehidupan, dikarenakan sering melihat hanya sisi yang disukainya. Artinya, kita berpegang teguh pada kehidupan yang diimpikan, melihatnya dengan warna yang lebih gemerlap daripada sebenarnya.
Manusia bersikeras ingin melihat kehidupan hanya dalam bentuk tanpa kematian, satu sisi kehidupan yang tidak dapat dihilangkan sebenarnya. Pikiran kita terpola bahwa kematian akan datang suatu hari, tetapi menganggap kematian tersebut tidak akan terjadi hari ini, besok, bulan depan, tahun depan, dan seterusnya. Gambaran hidup yang bias, selektif, dan tidak lengkap tersebut secara bertahap membangun dalam diri kita sebuah harapan tidak ada kematian dalam jangka waktu yang dekat. Selama kita menyerah pada kerapuhan batin, maka kita akan tetap memiliki rasa takut akan kematian ini, dan tidak mau memikirkannya atau melihatnya sebagai sesuatu yang akan mencabik-cabik kehidupan.
Rasa takut akan kematian juga karena kita terikat pada kenyamanan kekayaan, keluarga, teman, kekuatan, dan kesenangan duniawi. Kita melihat kematian sebagai sesuatu yang akan memisahkan kita dari benda-benda yang kita ingin pegang erat. Selain itu, kita takut mati karena ketidakpastian kita tentang apa yang mengikutinya, dan juga suatu perasaan tidak terkendali, rasa belas kasihan akan berkontribusi terhadap rasa takut.
Penting untuk dicatat bahwa ketakutan akan kematian tidak sama dengan pengetahuan atau kesadaran akan kematian. Kegagalan kita untuk menerima hubungan antara hidup dan mati adalah akar dari ketakutan ini. Kita gagal melihat dan menerima kenyataan apa adanya kehidupan dalam kematian dan kematian dalam kehidupan. Selain itu, kebiasaan obsesi diri, sikap mementingkan diri sendiri dan desakan pada identitas diri memisahkan kita dari keseluruhan pemahaman bahwa kita merupakan bagian yang bisa terlepas dari kematian.
Kita perlu terus merenungkan kenyataan kematian yang tak terhindarkan, dan belajar untuk menerimanya sebagai bagian dari karunia kehidupan. Jika kita belajar untuk merayakan kehidupan pada keindahannya yang sesaat, datang dan pergi, muncul dan lenyap, kita akan bisa berdamai dengannya. Selanjutnya, kita perlu menghargai proses perubahan dan regenerasi yang konstan tanpa menahan, bahkan gunung, bintang, dan alam semesta itu sendiri mengalami perubahan dan pembaruan terus menerus.
Bagaimana kita dapat berdamai dengan kondisi tersebut? Cobalah untuk mendapatkan kebenaran terhadap sesuatu yang mengganggu stabilitas bathin, bagaimana elemen-elemen gangguan itu bekerja dan apa yang memicu mereka. Kemudian, bertanya apakah sesuatu dapat dilakukan untuk mengatasinya. Jika jawaban untuk ini adalah tidak, maka pilihan lain apa yang kita miliki selain bertahan dengan menerimanya? Tidak ada gunanya khawatir. Sebaliknya, jika jawabannya adalah ya, kita dapat memanfaatkan metode itu dan menerapkannya.
Jelas, beberapa cara untuk menenangkan pikiran sejak awal akan berguna. Yang terpenting, memperdalam wawasan tentang berbagai hal yang saling mempengaruhi satu sama lain, baik dalam pengertian negatif maupun positif, dan mengintegrasikannya dalam kehidupan. Kita harus mengenali elemen-elemen destruktif dalam diri kita - emosi kesengsaraan kita dan perspektif yang menyimpang - dan memahaminya secara menyeluruh. Kapan mereka muncul? Tindakan apa yang akan menangkal mereka? Kita juga harus memahami unsur-unsur konstruktif atau potensinya di dalam diri kita dan berusaha mempelajari cara memanfaatkan dan meningkatkannya.
Ketika kita gagal melihat kematian - sebagai bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan - maka pikiran dan tindakan kita menjadi terputus dari kenyataan dan penuh dengan elemen yang saling bertentangan, yang menciptakan gesekan yang tidak perlu. Kita bisa mengacaukan karunia yang menakjubkan ini, yang pada akhirnya tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Akhirnya kita akan menghadapi kematian, seolah-olah kita tidak pernah hidup, tanpa petunjuk tentang apa hidup ini dan bagaimana menghadapinya.
Kita berbicara tentang kehidupan sebagai karunia karena ini adalah apa yang hampir semua dari kita sepakati tanpa berpikir dua kali, meskipun kita mungkin berbeda dalam arti karunia itu bagi kita masing-masing. Kita perlu menggunakannya sebagai jangkar, titik awal untuk menghargai kehidupan dalam keutuhannya, dengan kematian menjadi bagian yang tak dapat dicabut darinya.
Kematian, seperti yang terjadi secara alami, adalah bagian dari karunia itu, dan bersama dengan kehidupan menjadikan benda yang disebut keberadaan ini utuh, lengkap dan bermakna. Faktanya, itu adalah tujuan kita yang akan memberikan banyak nilai dan tujuan pada kehidupan. Kematian juga melambangkan pembaruan, regenerasi dan kontinuitas, dan merenungkannya dengan cara yang tepat mengilhami kita dengan kualitas transformatif dari pemahaman, penerimaan, toleransi, harapan, tanggung jawab, dan kemurahan hati. Dalam salah satu sutra, Sang Buddha memuji meditasi tentang kematian sebagai meditasi tertinggi.
Dalam tradisi Buddhis, khususnya di tingkat Vajrayana, dipercayai adanya kesinambungan pikiran halus dan energi halus menuju kehidupan selanjutnya terus menerus tanpa akhir. Energi pikiran yang halus ini adalah abadi; ia tidak tahu penciptaan atau kehancuran. Bagi kita makhluk biasa, cara transisi ke kehidupan baru ini terjadi bukan karena pilihan tetapi di bawah pengaruh kamma tindakan baik kita di masa lalu dan yang tidak baik. Ini termasuk kemungkinan terlahir dalam berbagai bentuk kehidupan.
Akhirat akan menjadi kelanjutan dari diri kita sendiri, dan tindakan dalam kehidupan ini, baik atau buruk, akan menghasilkan buah.
Jadi jika kita menumbuhkan belas kasih dan wawasan dalam kehidupan ini dengan melatih pemikiran positif dan bertindak baik dalam berhubungan dengan orang lain, maka seseorang akan membawa kualitas-kualitas dan potensi mereka ke kehidupan selanjutnya.
Maka hal ini akan membantu seseorang mengatasi setiap situasi, termasuk kematian itu sendiri, dengan tenang. Jadi, cara pasti untuk mengatasi rasa takut akan kehidupan setelah mati adalah dengan menjalani kehidupan saat ini dengan penuh kasih dan bijak, yang juga membantu kita memiliki kehidupan yang bahagia dan bermakna di masa kini. (c)