Jumat, 14 Maret 2025

Pergi Melampaui Kelapukan

Oleh Upa Madyamiko Gunarko Hartoyo ST MM
Redaksi - Sabtu, 05 September 2020 10:07 WIB
990 view
Pergi Melampaui Kelapukan
kindpng
Ilustrasi
Dahulu kala, raja yang berkuasa di negeri Kasi tidak memiliki anak dan meminta istrinya untuk berdoa agar mendapatkan anak. Kemudian Bodhisatta yang turun dari alam Brahma terlahir di dalam rahim ratu dan diberi nama Udayabhadda yang bermakna Selamat Datang. Di saat mulai dapat berjalan sendiri, makhluk lain dari alam Brahma terlahir sebagai anak perempuan di dalam rahim istri raja yang lain, dan ia diberi nama yang sama, Udayabhadda.

Saat cukup umur, pangeran menguasai semua cabang ilmu pengetahuan. Lebih lagi, ia adalah orang yang suci dan tidak mengenal kesenangan inderawi, bahkan tidak dalam mimpi, ataupun hatinya jatuh pada hal yang jahat. Raja berkeinginan untuk menjadikan putranya sebagai raja, tetapi Bodhisatta tidak menginginkan kerajaan.

Namun karena terus-menerus diminta akhirnya ia membuat jawaban akan menikah jika raja dapat menemukan wanita seperti dengan gambar yang memakai emas merah yang dibuatnya. Mereka tidak dapat menemukan wanita seperti itu di seluruh negeri, kemudian mereka menghiasi Udayabhadda dengan baik melebihi gambar tersebut. Akhirnya mereka menikah di luar keinginan mereka berdua, adik perempuannya sendiri putri Udayabhadda, lahir dari ibu yang berbeda, yang dijadikan istri.

Seiring berjalannya waktu, Bodhisatta menjadi pemimpin negeri itu setelah orang tuanya meninggal. Kedua orang ini menjalani hidup yang penuh kesucian bersama walaupun tinggal di dalam satu kamar, tetapi tidak takluk pada nafsu inderawi, dan tidak pernah melihat satu sama lain dengan nafsu keinginan. Mereka membuat satu janji bahwa siapapun di antara mereka yang duluan meninggal, ia harus kembali ke tempat kelahirannya.

Memerintah dalam kurun waktu yang lama, Bodhisatta kemudian meninggal dan tidak ada raja pengganti, Ratu Udayabhadda kembali menjadi rakyat awam dan para menteri istana yang mengurus kerajaan. Bodhisatta tumimbal lahir menjadi Dewa Sakka di alam Tavatimsa.

Bodhisatta teringat pada janjinya dan berniat menjumpai Ratu Udayabhadda dan menguji dirinya dengan kekayaan. Waktu itu ratu sedang duduk tenang sendirian di dalam kamar yang megah di atas tempat tinggalnya yang bertingkat tujuh, sambil bermeditasi dengan objek perbuatan bajiknya sendiri. Kemudian Sakka mengambil sebuah piring emas yang diisi dengan koin emas, ia muncul di hadapannya mulai berbicara dengan menyanjung kecantikan ratu menawarkan sepiring emas tersebut agar mereka dapat bersama. Ratu menyatakan tidak menginginkan apapun semenjak Udaya meninggal walaupun pemberian dari dewa, yakkha, maupun manusia.

Mendengar jawabannya yang pedas, Sakka langsung pergi dan menghilang namun keesokan harinya pada jam yang sama, ia mengambil mangkuk perak yang diisi dengan koin emas dan menawarkan kembali keinginannya. Ratu tidak berkata sedikitpun agar Sakka tidak datang lagi. Sakka yang melihat bahwa ia tidak bisa berkata-kata lagi, langsung menghilang dari sana.

Keesokan harinya, di waktu yang sama, ia membawa mangkuk besi penuh koin dan berkata, jika memberkahi dirinya dengan cinta kasih maka Sakka akan memberikan mangkuk besi yang penuh dengan koin. Melihat tawaran yang diberikan berkurang nilainya, Ratu berkata pada Sakka bahwa seseorang yang bermaksud merayu wanita, akan selalu menaikkan dan terus menaikkan pemberian emasnya sampai wanita itu mengikuti kemauannya.

Ketika mendengar perkataan ini, Sang Mahasatwa menjawab dirinya adalah seorang pedagang yang hati-hati, tidak akan menghabiskan barang-barangnya untuk hal yang tidak menghasilkan apa-apa. Kecantikan kian hari kian memudar, makanya penawaran yang diberikan juga semakin menurun nilainya. Sakka pun menyampaikan kebenaran usia muda dan kecantikan akan memudar di alam manusia ini, hari ini menjadi lebih tua dari sebelumnya, demikianlah juga kecantikan memudar dan menghilang seiring bergantinya siang dan malam.

Mendengar demikian, ratu bertanya bagaimana kerangka badan ini tidak berlaku bagi dewa yang tentunya tidaklah sama dengan manusia. Kemudian Sakka menyampaikan keindahan di alam dewa yang tidak akan menjadi tua, tidak terlihat lipatan kerutan di kulit mereka. Bahkan di hari-hari berikutnya kecantikan dewa akan bertambah dan ada kebahagiaan yang tidak terhitung.
Ketika mendengar tentang keindahan di alam Dewa, ratu menanyakan caranya untuk dapat ke sana yang diuraikan dengan bait berikut oleh Sakka:

"Barang siapa yang dapat mengendalikan ucapan dan pikiran, yang dengan jasmaninya tidak melakukan perbuatan buruk, Di dalam rumahnya dapat ditemukan banyak makanan dan minuman, Ringan tangan, dermawan, memiliki keyakinan yang benar, Bersedia membantu, bermulut manis, bergembira- Ia yang demikian orangnya tidak perlu takut apapun untuk berjalan menuju ke alam Dewa."
Kemudian menjawab pertanyaan ratu, Bodhisatta menyampaikan dirinya adalah Raja Udaya yang memenuhi janji untuk datang kembali. Mendapat jawaban tersebut, ratu meminta dituntun agar senantiasa dapat bersama Bodhisatta dan dijawab dengan uraian berikut : "………Ingatlah badan ini akan menjadi makanan bagi yang lain sama halnya dengan kebahagiaan dan penderitaan. Waktu yang terus berputar, seperti kehidupan yang menggantikan kehidupan. Oleh karena itu harus taat menjalankan Dhamma, jangan lengah."

Hal ini mengingatkan pada ratu sebenarnya hidup singkat sebagai manusia menyedihkan dan memutuskan meninggalkan kehidupan duniawi. Keesokan harinya, Ratu mempercayakan para menterinya untuk mengurusi pemerintahan; dan di dalam kota miliknya itu, di sebuah taman yang menyenangkan, ia menjadi petapa yang mengasingkan diri. Di sana ia hidup sesuai Dhamma sampai akhir usianya, dan tumimbal lahir di alam Tavatimsa, sebagai pelayan Bodhisatta.

Uraian cerita Jataka tersebut, memaparkan kebenaran kepada kita untuk tidak mundur ke jalan yang salah demi kesenangan nafsu duniawi. Dengan kekuasaaan yang besar sekalipun, seorang raja sebuah kota yang makmur dan luas mampu mengendalikan tidak takluk pada nafsu inderawi.

Pengendalian diri merupakan salah satu berkah dalam Manggala Sutta, cerita tersebut memberikan ilustrasi bagi kita pada dasarnya pengendalian diri akan memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi bagi kita. Kebahagiaan dengan mengikuti nafsu indriya di alam manusia sangatlah singkat adanya dan penuh dengan penderitaan. Pada dasarnya bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal dan karena tidak kekal maka menimbulkan penderitaan itulah hal yang harus dipahami oleh kita semua. Dengan kemampuan pengendalian diri yang tinggi kita akan mendapat kebahagiaan yang lebih baik, salah satunya terlahir di alam dewa yang tidak akan menjadi tua, bahkan kecantikan dewa akan bertambah setiap waktu dan kebahagiaan lain yang tidak terhitung.

Lebih lanjut, dalam Dhamma Vibhaga dijelaskan bahwa ada lima latihan pengendalian diri (samvara), yaitu pengendalian diri terhadap tingkah laku dan ucapan sesuai dengan moral dan etika yang berlaku dalam norma agama di mana pun kita berada, pengendalian diri melalui perhatian (Sati Samvara) yang dilakukan dengan selalu sadar dan waspada terhadap indria pada saat kontak dengan objek, pengendalian diri melalui kesabaran ketika menghadapi fenomena kehidupan ini sehingga tahan terhadap masalah-masalah yang timbul dari luar maupun yang timbul dari dalam diri kita sendiri, pengendalian diri melalui usaha yang benar yakni menghilangkan pikiran-pikiran jahat dengan usaha yang baik dan pengendalian diri dengan mengunakan pengetahuan Dhamma yang telah dimiliki untuk menghadapi problem atau masalah-masalah yang dihadapi yang muncul dalam kehidupan ini.

Sang Buddha menguraikan manfaat pengendalian diri dalam Itivuttaka, bagian dari Khuddaka Nikaya sebagai berikut : Orang yang telah menyelesaikan pelatihan yang tidak lagi dapat terjatuh, dan telah mencapai kebijaksanaan yang lebih tinggi, dia melihat akhir dari kelahiran, orang suci itu menanggung tubuh terakhirnya, dan karena telah meninggalkan kesombongan, dia telah pergi melampaui kelapukan.

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru