Jumat, 14 Maret 2025
Renungan Buddha Dhamma

Landasan Praktik Latih Diri

Oleh Upasaka Pandita Rudiyanto Tanwijaya
Redaksi - Sabtu, 30 Mei 2020 11:34 WIB
790 view
Landasan Praktik Latih Diri
tricycle.org
Ilustrasi
Seorang siswa Buddha selain memahami teori Dharma juga dituntut untuk mempraktikkan apa yang diajarkan oleh Buddha, agar mencapai pemahaman yang sempurna. Memang bukan semudah membalikkan telapak tangan. Praktik latihan diri bahkan ada yang membutuhkan proses panjang hingga berkalpa kehidupan yang tak terhitung dengan waktu.

Buddha merupakan sosok yang Maha Welas Asih. Untuk memudahkan manusia dalam menjalankan latihan praktiknya, Beliau mempersiapkan metode jitu yang tak terhitung banyaknya, agar manusia dapat menggunakannya sebagai jalan panjang pelatihan menjadi lebih efektif dan efisien. Mengapa metode ini berbagai ragam, yang katanya sampai mencapai 84.000 metode? Karena Buddha mengetahui tingkat kemampuan manusia yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Namun meskipun metode itu berbeda, namun muaranya tetap sama, yaitu pembebasan dari racun kehidupan yang menjadi pangkal penderitaan. Semua metode ini juga memiliki keampuhan yang sama, tidak ada yang lebih tinggi apalagi lebih rendah. Silakan memilih metode yang paling sesuai (disarankan dengan bimbingan guru).

Dalam melaksanakan metode, yang paling penting dimiliki adalah keyakinan yang kuat dan teguh serta tekad yang tak menyimpang dari ajaran Buddha dan latihan yang kontiniu. Jika tidak, metode jitu ini pun tidak akan membawa hasil. Jadi intinya kembali pada diri kita.

Maha Biksu Hsu Yun (1840-1959), seorang Guru Besar Zen yang sangat terkenal, dalam satu ceramah Dharmanya, berkaitan dengan metode praktik, pernah memberikan sebuah nasihat yang bermakna dan bermanfaat.

Beliau mengingatkan bahwa dalam praktik latihan, keyakinan yang kokoh amat penting. Jangan hanya mengandalkan secuil keberuntungan, sedikit kecerdasan dan pengetahuan yang dangkal. Hanya bermodalkan kemampuan menghapal sedikit istilah-istilah Buddhis, sudah berani berbicara sembarangan. Bahkan menggunakannya untuk memuji atau pun mengecam orang lain.

Menurut Maha Biksu Hsu Yun, jika seorang siswa Buddha demikian, maka kita hanya akan membentuk karma kebiasaan dan tidak bisa mencapai pembebasan. Amat sayang jika kesempatan yang amat langka terlahir sebagai manusia tidak dipergunakan dengan baik.

Nasihat MahaBiksu Hsu Yun jelas bukan isapan jempol belaka. Dalam kenyataannya, apa yang disampaikan oleh beliau adalah kondisi yang sering kita alami.

Kita sebagai siswa Buddha, biasanya suka berpuas pada level mengetahui saja. Mampu menghapal berbagai sutta/sutra layaknya mesin perekam, namun dalam kenyataannya, hapalan itu bukan untuk pedoman hidup kita, tapi untuk orang lain. Kita kerap menjadikan bait-bait sutta/sutra yang sudah terekam di dalam kepala ini untuk menilai orang lain. Kita seolah menjadi hakim dalam kehidupan ini. Tentunya jika demikian, Dharma yang susah payah telah kita pelajari menjadi tak maksimal. Karena praktik Dharma adalah untuk menolong diri ini terlebih dahulu.

Atau, kita pernah mengikuti kelas meditasi. Namun ia hanya bermeditasi saat berada di wihara atau cetiya. Begitu selesai kelas meditasi, pikirannya mengembara tak terkendali. Kesadaran tidak lagi dijaga. Pikiran, ucapan, dan perbuatan jauh dari ajaran Buddha. Meditasi hanya seolah menjadi seremonial rutin semata.

Menyimak apa yang disampaikan oleh Maha Biksu Hsu Yun, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa keberhasilan praktik adalah keyakinan dan kontinuitas, bukan sekedar aji mumpung atau mood belaka. Dengan kata lain, perlu kesungguhan hati yang iklas.
Baik itu keyakinan, tekad, kesungguhan maupun keiklasan, akan menjadi modal yang tak ternilai dalam praktik, sehingga kita bagaikan karang kokoh yang siap dihempas oleh ombak sekuat apa pun.

Sebab seorang pelatih diri dalam Agama Buddha harus siap menghadapi jalan penuh kerikil tajam, berliku dan jurang yang dalam, sebelum akhirnya mencapai tempat yang penuh kebahagiaan. Sadhu. (c)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru