Medan (SIB)- Berdasarkan data di BPS Sumut tahun 2014, remaja berusia 15-24 tahun sebanyak 2.514.109 jiwa dan menurut BKKBN Sumut 30-35 persen di antaranya melakukan pernikahan di usia dini mendapat tanggapan tegas dari tokoh agama.
Pdt Yona Gulo STh mengatakan dalam peraturan gereja sudah ditetapkan bahwa secara tegas remaja yang berusia di bawah usia 17 tahun yang akan melakukan pernikahan dini tidak bisa diberkati.
“Gereja juga punya aturan yang harus dipatuhi dan ditaati jemaatnya. Tidak ada yang dapat menerima pemberkatan nikah jika usia kedua mempelai tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh gereja. Dengan alasan apapun dan ditinjau dari aspek manapun pernikahan dini adalah perkawinan yang tidak dapat diterima gereja,†ujar Yona kepada SIB, Sabtu (9/1).
Dikatakannya, yang boleh menikah adalah yang sudah dewasa dan sesuai UU Pernikahan sudah disebutkan bahwa usia yang tepat bagi yang akan menikah adalah minimal 17 tahun karena secara fisik, psikis, dan mental mereka sudah dapat mempertanggung jawabkan diri mereka sendiri. “Pernikahan dini itu adalah remaja yang masih di bawah umur 17 tahun yang artinya masih salah satu tanggung-jawab orangtua,†katanya.
Lanjutnya, ia sangat prihatin dengan peristiwa seperti itu dan baik bagi pemerintah, orangtua, serta gereja agar berkomitmen mengatasi serta mencegah terjadinya pernikahan dini lagi. Maka semua pihak perlu memberikan pemahaman-pemahaman kepada remaja tentang apa dampaknya yang bila melakukan pernikahan dini serta memberikan penjelasan tentang apa itu keluarga.
“Dalam Kristen membentuk suatu keluarga adalah sekali seumur hidup, jadi perlunya pemahaman tentang keluarga harus diterapkan bagi setiap remaja yang akan melangsungkan pernikahan agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Dan ditinjau dari kesehatan juga pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Secara fisik alat reproduksinya belum siap. Pernikahan dini juga mendorong tingginya tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan bahkan meningkatnya tingkat perceraian,†jelasnya.
Ditambahkannya, mungkin masih timbul pro dan kontra di masyarakat, memberikan pendidikan seks kepada anak adalah hal yang tabu serta dapat mendorong remaja untuk melakukan seks. Tapi berdasarkan sudut pandang psikologis juga pendidikan seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku yang kurang bertanggung jawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis.
Dalam hal ini, gereja pun memiliki peranan penting mencegah terjadinya pernikahan dini, di antarannya melibatkan anak ke dalam kegiatan gereja, memberikan penagajaran kepada remaja itu tentang pernikahan dini membentuk suatu perkumpulan rutin.
“Peran gereja bukan hanya memberikan siraman rohani saja, namun juga memerhatikan pemuda-pemudi gereja dalam setiap aktivitasnya. Dan memberikan penjelasan agar kiranya remaja yang masih di bawah umur tidak berpikiran menikah dulu, namun utamakan pendidikan dan keterampilan, jangan memikirkan hal-hal yang belum selayaknya untuk dilakukan dan orangtua juga jangan cepat sekali menikahkan anak hanya karena berpikir melepaskan satu beban, namun terus memberi arahan dan bimbingan kepada anak-anaknya,†katanya.
(Dik-ECS/h)