Medan (
harianSIB.com)
Wakil Ketua Komisi B
DPRD Sumut Frans Dante Ginting mengatakan, usulan dibentuknya
Undang-undang (UU) Kebebasan Beragama menjadi langkah maju dalam melindungi hak individu untuk beragama atau berkepercayaan, tetapi tidak otomatis menghilangkan pertentangan antar pemeluk agama yang selama ini terjadi.
"Usulan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, untuk membentuk UU Kebebasan Beragama, sejalan dengan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaannya," tandas
Frans Dante Ginting kepada wartawan, Kamis (13/3/2024) melalui telepon di Medan.
Namun dalam prakteknya, tambah politisi Partai Golkar ini, Indonesia hanya mengakui enam agama resmi (
Islam,
Kristen Protestan,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Sementara penganut kepercayaan lain sering menghadapi kesulitan dalam administrasi kependudukan, hak beribadah dan pengakuan hukum.
"Jadi, jika usulan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemeluk agama atau kepercayaan di luar enam yang diakui negara, maka itu bisa menjadi langkah positif dalam memperkuat kebebasan beragama," ujar anggota dewan Dapil
Karo,
Dairi dan Pakpak Bharat ini.
Namun, ujar mantan anggota DPRD
Karo ini, tantangan dalam penerapan UU ini cukup besar, mengingat sensitivitas isu agama di Indonesia serta reaksi dari kelompok tertentu dan organisasi keagamaan, dan pemerintah perlu diperhitungkan agar kebijakan ini tidak menimbulkan konflik sosial.
Selain itu, tambahnya, penting untuk memastikan bahwa kebebasan beragama ini tetap selaras dengan prinsip toleransi dan kebhinekaan di Indonesia, sebab hukum atau undang-undang tidak selalu mengubah persepsi sosial secara instan.
"
Undang-undang bisa memberikan perlindungan hukum, tapi sikap dan persepsi masyarakat terhadap perbedaan agama tidak selalu berubah dengan cepat. Butuh edukasi, dialog antaragama, dan pendekatan sosial yang konsisten," ujar
Frans Dante Ginting.
Di Indonesia, ujarnya, agama sering kali berkaitan erat dengan identitas sosial dan budaya. Dalam beberapa kasus, perbedaan keyakinan masih menjadi pemicu konflik, baik karena faktor sejarah, politik atau ekonomi.
"Bisa saja nantinya Undang-Undang Kebebasan Beragama menjadi alat untuk melindungi hak beragama setiap individu, tetapi tidak otomatis mengakhiri konflik antar pemeluk agama, sebab konflik sering kali dipicu persaingan ekonomi atau politik yang dibungkus dengan isu agama," tandas Frans Dante.(**).
Editor
: Bantors Sihombing