Medan (harianSIB.com)
Kerusakan ekosistem mangrove di Sumatera Utara yang mencapai 15 ribu hektare menunjukkan
ancaman serius terhadap lingkungan pesisir.
Hal itu ditegaskan pengamat kebijakan publik yang juga seorang akademisi vokal,
Sohibul Anshor Siregar menjawab Jurnalis SIB News Network (SNN) di Medan, Selasa (3/12/2024).
Baca Juga:
Dikatakan, apa pun penyebab utama kerusakan itu, apakah konversi lahan menjadi tambak, perkebunan, dan kawasan industri, yang menghancurkan habitat mangrove, atau yang lainnya, telah lama menjadi pengetahuan publik.
"Eksploitasi berlebihan, seperti penebangan untuk bahan baku industri, serta pencemaran limbah industri dan perkotaan, semakin memperburuk degradasi ekosistem. Keterbiarannya menunjukkan masalah besar dalam penegakan hukum.
Baca Juga:
"Semua orang tahu dampak kerusakan ini mencakup peningkatan kerentanannya terhadap perubahan iklim, seperti erosi pantai dan banjir rob, serta kehilangan fungsi mangrove sebagai penyerap karbon yang memperburuk perubahan iklim global. Degradasi ekosistem mangrove juga menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati dan menurunnya produktivitas perikanan, yang memengaruhi mata pencaharian masyarakat pesisir," katanya.
Semua juga tahu, lanjutnya, bahwa untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya rehabilitasi mangrove secara holistik yang melibatkan pemerintah, masyarakat lokal, sektor swasta, dan organisasi lingkungan.
Pendekatan ini harus mencakup peningkatan kesadaran masyarakat, penataan kebijakan lahan, serta restorasi ekosistem yang menyeluruh dan berkelanjutan. Evaluasi berkala dan kebijakan yang memprioritaskan pelestarian mangrove penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
"Pertanyaannya, mengapa dari tahun ke tahun masalah justru semakin besar? Ini memerlukan keseriusan dalam evaluasi efektivitas semua program. Fakta itu menunjukkan kekuatan yang lebih besar dari
negara dan pemerintah," tegas Sohibul.
PROGRAM REHAB
Menurutnya, rogram rehabilitasi mangrove yang dijalankan oleh BRGM dan Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) memang menawarkan potensi besar, namun menghadapi beberapa tantangan.
"Barangkali,
koordinasi dan pendanaan seringkali terbentur masalah birokrasi dan kecukupan dana, yang dapat memperlambat implementasi. Meskipun penting, partisipasi masyarakat lokal dalam rehabilitasi belum cukup substansial, padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak dan dapat berperan dalam pemeliharaan ekosistem mangrove serta pengembangan ekonomi berbasis mangrove," sebutnya.
"Pengelolaan jangka panjang harus lebih diperhatikan dengan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang lebih ketat untuk mencegah kerusakan ulang. Untuk meningkatkan efektivitas, perlu ada
koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dan lembaga internasional, pendanaan yang cukup, serta keterlibatan masyarakat yang lebih besar," tambahnya. (**)