Komisi A DPRD Sumatra Utara (Sumut) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) segera menindak tegas para perambah hutan mangrove di Kabupaten Langkat sekaligus menyelamatkan 60 persen lahan yang sudah "disulap" jadi areal perkebunan sawit milik pengusaha besar dari Kota Medan.
Desakan itu disampaikan anggota Komisi A DPRD Sumut Frans Dante Ginting dan Salmon Sumihar Sagala kepada wartawan, Senin (4/3/2024), melalui telepon, di Medan, menanggapi temuan Walhi Sumut yang menyebut 60 persen lahan Mangrove di Langkat sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit.
"Benar-benar sangat fantastis, dari luas hutan mangrove di Langkat pada tahun 2021-2024 mencapai 57.490 hektar, diperkirakan sudah mengalami kerusakan seluas 60 persen tanpa ada tindakan tegas dari instansi yang berwenang. Ini harus menjadi perhatian serius dari Kementerian LHK dan aparat penegak hukum," tegas Frans Dante.
Padahal, tambah Salmon Sagala, manfaat dan fungsi hutan mangrove dari berbagai sudut pandang, memegang peranan penting bagi kehidupan di pesisir, yakni tempat mendaratnya ribuan burung pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia.
"Juga hutan mangrove sebagai pelindung terhadap bencana alam, melindungi tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi, pengendapan lumpur yang berkaitan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, menjaga kualitas air laut dari endapan lumpur erosi," katanya.
Seharusnya, tambah Salmon yang juga politisi PDI Perjuangan ini, semua pihak melindungi keberadaan hutan mangrove, karena berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon serta mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
Berkaitan dengan itu, Frans Dante, menuntut Kementerian LHK segera turun tangan menggandeng aparat penegak hukum menertibkan seluruh kawasan hutan mangrove di Langkat yang sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit.
"Segera tindak tegas perambahan hutan mangrove di Lubukkertang, Pangkalansusu, Kabupaten Langkat yang hingga kini belum ada ujung pangkalnya. Padahal sudah jelas ada barang bukti, baik para penebang kayunya maupun oknum yang menampung kayu bakau tersebut. Tapi pemiliknya hingga kini belum tersentuh hukum," katanya.
Frans Dante sangat sependapat dengan Walhi Sumut, jangan biarkan para perambah hutan atau mafia mengeksploitasi sumberdaya alam Langkat, karena masyarakat yang hidup dan mencari nafkah di sekitar kawasan hutan mangrove akan menjadi korban dan terkena dampak dari aktivitas tersebut.
Atas dasar itu, Wakil Sekretaris Fraksi Golkar ini mengingatkan seluruh masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan mangrove Langkat untuk bersama-sama melakukan penolakan serta penghadangan aksi perambah hutan mangrove di sekitar tempat tinggal mereka, guna penyelamatan ekosistem dan biota laut tersebut.
Kewenangan Kemenhut
Sementara itu, Kabidkum Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Sumut, Zainuddin mengakui, penertiban kawasan hutan mangrove di Langkat merupakan kewenangan Kementerian LHK dengan berkordinasi dengan aparat penegak hukum.
"Itu kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena hutan mangrove itu program presiden membantu masyarakat. Jadi, untuk menertibkan para perambah atau yang telah menguasai lahan mangrove, pihak Kementerian LHK berkordinasi dengan Polda Sumut," katanya.
Ketika ditanya luas hutan mangrove di Langkat pada tahun 2021-2024 mencapai 57.490 hektare, mengalami kerusakan seluas 29.417 hektare dan mangrove potensial terdiri dari tanah timbun seluas 16.883 hektare, tambak seluas 9.418 hektare, lahan terbuka 2.891 hektare, mangrove terabrasi seluas 72 hektare.(**)