Kamis, 13 Maret 2025
Pdt Dr Darwita Purba :

Menganut Budaya Patriarki, Batak Sulit Terapkan Kesetaraan Gender

Redaksi - Rabu, 05 Oktober 2022 20:18 WIB
2.489 view
Menganut Budaya Patriarki, Batak Sulit Terapkan Kesetaraan Gender
Foto : Ist/harianSIB.com
Pdt Dr Darwita Purba.
Simalungun (SIB)

Sistem kekeluargaan patrilineal, menempatkan laki - laki sebagai penerus marga (garis keturunan), memberikan penghargaan lebih kepada laki - laki. Hal ini menimbulkan budaya patriarki yang menempatkan laki - laki pada posisi sentral, sedangkan istri dan anak perempuan diposisikan sebagai kepentingan laki - laki. Akhirnya, budaya ini sulit menerapkan kesetaraan gender berkeadilan.

Pdt DR Darwita Purba, Senin ( 3/10 ) menguraikan beberapa faktor berpengaruh dalam kekerabatan lokal, suku yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal dikatakan sulit menerapkan kesetaraan gender berkeadilan. Hal itu juga sudah dikemukakan dalam buku ‘Merajut Asa dengan topik Melucuti Patriarki’.

Sumatera Utara dinilai merupakan satu daerah di Indonesia merupakan ladang subur patriarki karena beberapa etnis asli penghuninya seperti Toba, Simalungun, Karo, Pakpak dan Mandailing serta Nias dikatakan menganut sistim kekeluargaan partrilineal.

Sistem kekerabatan patrilineal ini menjadi tulang punggung dalam masyarakat Batak, laki - laki berperan penting membentuk kelompok kekerabatan, dianggap lebih berharga dibanding dengan keberadaan perempuan.

Akhirnya, sistem patrilineal menciptakan budaya patriarki, sebagai sebuah sistim struktur dan praktik sosisal di mana laki - laki mendominasi dan di sisi lain mengeksploitasi perempuan, katanya.

Berdasarkan penamaan yang diberikan Belanda (Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing) disebut Batak, memiliki filosopi kehidupan yakni di Toba adalah Dalihan Na Tolu (tungku kaki tiga), di Simalungun adalah Tolu Sahundulan (tiga duduk bersama) menggambarkan keberadaannya terdiri dari unsur hula - hula (keluarga dari pihak istri), dongan sabutuha (satu marga) dan boru (keluarga dari pihak menantu) ketiga unsur itu dianggap memiliki peran penting dan kedudukan yang sama menopang kekuatan besar.[br]



Namun, dalam praktek sehari - hari kedudukan dan posisi ketiga unsur tersebut dikatakan berbeda. Misalnya, status kedudukan hula - hula dianggap memiliki wibawa, mewah, kemuliaan dan bahkan kekuasaan sehingga pihak boru sering minta restu atau tuah dari pihak hula - hula.

Posisi perempuan Batak selalu dilihat sebagai anak perempuan dari bapak, istri adalah pendamping suami dan ibu melahirkan anak.

Dengan demikian, keberadaan perempuan Batak dikatakan tidak berdiri secara utuh tetapi justru melekat pada laki - laki.

Di dalam silsilah Batak (marga atau garis keturunan), anak perempuan dikatakan invisible (tidak terlihat) dengan alasan anak perempuan akan menikah dengan marga lain. Tetapi, dalam silsilah suami pun perempuan tidak kelihatan. Hanya saudara laki - laki dan bapak dari perempuan tersebut yang lebih dihormati.

Demikian juga seorang ibu yang melahirkan anak perempuan, tidak ada laki - laki. Dalam hal ini, garis silsilah keturunan suami akan terputus dan ibu bersangkutan dianggap membawa aib di tengah keluarga.

Berdasarkan fakta yang disampaikan dikatakan, suku penganut budaya patriarki menunjukkan sikap cenderung merendahkan kaum wanita. Padahal, tanpa wanita maka kehidupan laki - laki dinilai akan terasa hampa.

Gerakan perjuangan keadilan gender disampaikan bukan berarti menuntut kesamaan hak dan status antara laki - laki dengan perempuan. Tetapi, tanpa menentang budaya diharapkan ada perbaikan perlakuan kepada kaum perempuan. Karena, perempuan memiliki beban domestik (pribadi) yang cukup berat, misalnya, ibarat jalan kaki, laki - laki bisa menempuh 1000 meter perempuan masih 400 meter, untuk kebersamaan hendaklah laki - laki mengambil alih sebagian beban perempuan. (BR4/f)





Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru