Medan (SIB)
Tiga atau empat dekade lalu, masyarakat Indonesia cenderung lebih akrab dengan istilah menabung untuk menyisihkan sebagian penghasilannya yang berasal dari bekerja.
Hal itu bahkan melekat di kalangan masyarakat, hingga terdapat penggalan lirik sebuah lagu yang berbunyi “Bang Bing Bung Yuk, Kita Nabung”.
"Seiring dengan perkembangan zaman, kaum milenial telah menemukan alternatif lain dalam menyisihkan penghasilannya selain dengan menabung, yakni dengan cara berinvestasi atau membeli saham," ungkap Kepala BEI (Bursa Efek Indonesia) Sumatera Utara Pintor Nasution, Sabtu (27/8).
Disebutnya, pada 12 November 2015 lalu, BEI bersama dengan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, meluncurkan kampanye berjudul “Yuk Nabung Saham (YNS)”.
Kampanye tersebut mengajak masyarakat sebagai calon investor untuk ikut serta berinvestasi di pasar modal dengan membeli saham secara rutin dan berkala.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah jika sudah berinvestasi tidak perlu menabung lagi? Jawabannya, sebut Pintor, tentu salah.
Hal ini karena menabung tetap dibutuhkan sebagai sarana penyimpanan untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek dan menengah.
Sementara dana yang diinvestasikan pada instrumen investasi, seperti saham, dialokasikan hanya untuk kebutuhan jangka panjang,” kata Pintor Nasution.
Untuk itu, langkah pertama ketika seseorang memiliki penghasilan, yakni dengan mengalokasikan sekurang-kurangnya sebesar 30% untuk tabungan di bank.
Sementara itu, 70% lagi dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dengan tetap mengalokasikan 6-12 kali dari gaji atau pengeluaran untuk dana darurat (emergency)
“Jadi sesuai dengan namanya, dana darurat ini digunakan ketika ada keadaan darurat pada masa mendatang,” ungkapnya.
Sebaliknya, jika uang yang ada di bank besarnya sudah mencapai 6-12 kali dari biaya hidup satu bulan, maka barulah kita bisa menggunakan kelebihan dananya untuk membeli proteksi (asuransi).
Dan jika sudah lebih bisa mulai berinvestasi di pasar modal dengan membeli saham atau reksa dana.
Setiap jenis investasi memiliki risikonya masing-masing. Terutama investasi saham yang dapat dikategorikan memiliki risiko yang tinggi.[br]
Karenanya, sebelum memutuskan untuk berinvestasi, ada baiknya seorang investor memiliki tujuan atau rencana keuangan pada jangka panjang.
Sebagai contoh, tujuan investasi dalam 10 atau 20 tahun ke depan adalah untuk mempersiapkan biaya pendidikan anak atau membeli rumah.
“Misalnya, harga rumah yang ingin dibeli saat ini senilai Rp1 miliar. Jika seseorang mampu mengumpulkan Rp100 juta per tahun, rumah tersebut dapat diperoleh dalam waktu 10 tahun,” sebut Pintor.
Akan tetapi jika hanya dengan mengandalkan metode menabung, target tersebut akan sulit terealisasikan karena adanya inflasi yang berpotensi meningkat dalam kurun waktu 10 tahun dan menyebabkan harga rumah tersebut melambung.
Untuk itu, dengan berinvestasi, investor dapat melindungi harta yang dimiliki dari penurunan nilai akibat inflasi, mewujudkan target tersebut, dan mencapai tujuan keuangan di masa depan.
Pintor mengatakan, berdasarkan ilmu perencanaan keuangan, dari 30% dana yang awalnya ada di tabungan, jika sudah melebihi angka kebutuhan emergency fund, sebanyak 10% dapat dialokasikan untuk kebutuhan jangka pendek dan tetap ada di tabungan.
Kemudian yang sebesar 10% lagi untuk kebutuhan jangka menengah, dan sebesar 10% dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan jangka panjang yang bisa dialokasikan pada produk-produk pasar modal.
“Namun, kata Pintor yang perlu diingat, evaluasi secara berkala penting untuk dilakukan. Misalnya, setiap enam bulan sekali, setiap investor perlu memantau portofolio masing-masing, agar komposisi dananya tetap terjaga dan berada dalam kondisi yang sehat,” imbuhnya. (A1/c)