Jumat, 14 Februari 2025
Lawyer Hasrul Benny Harahap SH MHum

Secara Yuridis Hanya Kejaksaan Berwenang Lakukan Restorative Justice

Redaksi - Sabtu, 26 Maret 2022 19:22 WIB
339 view
Secara Yuridis Hanya Kejaksaan Berwenang Lakukan Restorative Justice
Foto: Istimewa
Hasrul Benny Harahap SH MHum.
Simalungun (SIB)
Berbicara tentang penghentian perkara berdasarkan keadilan restorative atau restorative justice (RJ), secara yuridis normatif kewenangan itu hanya dimiliki oleh Kejaksaan.

"Penghentian perkara pidana berdasarkan restorative justice hanya dapat dilakukan oleh kejaksaan selaku pemilik asas dominus litis," demikian dikatakan advokat/lawyer Hasrul Benny Harahap SH MHum dalam pandangan hukumnya kepada wartawan di Siantar, Jumat (25/3).

Dikatakannya, jika akhir-akhir ini kita sering disuguhkan berita-berita di media tentang penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ), tentu pemberitaan tersebut banyak mendapat apresiasi dan pujian dari masyarakat, karena dianggap sebagai perwujudan empati dan kepedulian terhadap kasus-kasus yang menyangkut orang kecil.

Sehingga stigma hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas yang melekat selama ini di masyarakat bisa terhapus.

Restorative Justice adalah suatu bentuk metode penyelesaian perkara tindak pidana di luar proses peradilan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan," jelas Benny.

Dipaparkannya, sebagai pemilik asas Dominus Litis, jaksa merupakan pejabat yang berwenang untuk menentukan apakah suatu perkara layak diajukan penuntutannya ke pengadilan atau harus dihentikan penuntutannya. Esensi dominis litis mempertegas bahwa Kejaksaan merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang berhak untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan suatu perkara ke proses peradilan.

Dengan demikian, berkaitan dengan hal tersebut secara legalitas formal dapat disimpulkan bahwa Kejaksaan merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang berhak untuk menghentikan atau menyelesaikan perkara di luar proses peradilan ( Restorative Justice).

Hal tersebut kemudian diperkuat dengan diundangkannya Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang merupakan peraturan teknisnya. Lahirnya Perja tersebut merupakan jawaban atas kerinduan masyarakat akan hadirnya keadilan di tengah masyarakat dengan mengedepankan nurani dalam penegakan hukumnya sehingga tidak semua perbuatan pidana harus berujung ke pengadilan.

Menyikapi proses restorative justice yang dilakukan oleh penyidik KUHAP sebenarnya tidak mengakomodir hal tersebut. Disebabkan penyidik tidak memiliki kewenangan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu perkara pidana dilimpahkan ke dalam proses peradilan.

Akan tetapi cara-cara mediasi yang dilakukan oleh penyidik di tingkat penyidikan adalah langkah maju upaya penegakan hukum pidana kita, guna mendukung program penghentian perkara pidana berdasarkan RJ yang digagas dan dimotori oleh Kejaksaan selaku leading sector penegakan hukum pidana.

"Setiap tindakan penyidik tersebut tentu harus dilaporkan ke penuntut umum sebagai pemegang asas dominus litis. Bahwa apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mendamaikan tersangka dengan korban berdasarkan keadilan restoratif tidak diatur dalam KUHAP sebagai landasan hukum formal pidana, namun hanya sebatas diskresi Kepolisian dalam penyelesaian suatu tindak pidana," tegasnya.

"Oleh karenanya berbicara tentang penghentian perkara berdasarkan keadilan restorative atau restorative justice, secara yuridis normatif kewenangan itu hanya dimiliki oleh Kejaksaan," tegas Hasrul. (D2/a)

Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru