Medan (SIB)
Seminar 'Potensi Bencana Ekologis di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba dari Pendekatan Biologis dan Meteorologis' yang berlangsung secara webinar (zoom meeting) pada Sabtu (7/8) oleh Komunitas Masyarakat Danau Toba di Jakarta, mengungkap wacana darurat lingkungan Danau Toba, antara lain tindak moratorium dan relokasi semua keramba jala/jaring apung (KJA) ke perairan sekitar Sungaui Asahan.
Praktisi jasa investasi Ir Raya Timbul Manurung MSc selaku peninjau seminar dari kalangan ahli geologi (pengurus DPD IAGI Sumut), dan pakar pertanian Ir Saudara Sihombing, alumni IPB, dari Lembaga Studi Pengembangan Wilayah (LPSW) Jakarta, menyatakan bisnis KJA untuk produksi ikan nila di perairan Danau Toba, sebenarnya mulai menimbulkan kontroversi dampak dan potensi bencana lingkungan mulai 1989, empat tahun setelah pencanangan program Maduma (Mangula Dung Martangiang) di masa Gubernur Sumut Kaharuddin Nasution.
"Ada dua opsi moratorium keramba untuk misi atau program 'Selamatkan Danau Toba', yaitu opsi relokasi total semua KJA ke perairan sekitar Sungai Asahan, atau opsi teknologi memperdalam kolam keramba pada zona-zona tertentu yang aman kalau masih di sekitar Danau Toba. Kalau tidak begitu, Danau Toba akan darurat lingkungan lingkungan dengan potensi bencana ekologis," katanya kepada pers di Medan, Sabtu (7/8).
Usai menyaksikan seminar tersebut, Raya Timbul alumni UGM-Geologi itu menyebutkan alasan urgen relokasi keramba dari perairan Danau Toba karena usaha KJA-KJA pada dasarnya bisa ter-budidaya dan berkembang di perairan air tawar seperti di muara sungai, laut lepas pantai, telaga sisi sungai, waduk-waduk, dan kolam atau tambak. Soalnya, bagian bawah semua keramba bersifat non permeability yang bisa lolos dari sisa makanan dan kotoran yang timbulkan endapan dan padatan ampas pelet yang tidak jatuh-larut ke dasar danau. Hanya zat renik dan yang terlarut bisa mengotori air danau, sehingga objek sungai dinilai solusi pilihan usaha KJA.
Pilihan relokasinya antar lain di perairan Sungai Asahan mulai dari jembatan Porsea hingga bendungan Siruar, alur hingga muara sungai Asahan, Sungai Laerenun di Dairi, perairan laut lepas pantai Selat Sumatera, kolam atau tambak ikan KJA sekitar Pantaicermin (Serdangbedagai) atau didaratan pantai Danau Toba dan pada tepian alur sungai Asahan.
Untuk ini, ujar dia, ada lima solusi 'Selamatkan Danau Toba' : (1) Moratorium untuk semua investasi KJA baru, termasuk milik perorangan. (2). Semua KJA korporasi dan UKM harus relokasi ke arah hilir sungai Asahan dengan jaminan kemudahan dapat lahan. (3) Insentif fiskal--pajak bagi peserta relokasi. (4). Keramba harus penuhi standarukurandan bentuk KJA untuk mengurangi zat padatan limbah pakan yang terbuang ke danau.(5) Sanksi hukum bagi pengusahga KJA yang tidak bersihkan keramba (angkat ampas dan buang limbah padatan) setiap panen tiba.
"Sembari moratorium keramba di Danau Toba, pemerintah serta instansi terkait investasi dan lingkungan perlu buat kebijakan opsi teknologi, misalnya kedalaman kolamnya minimal 12 meter pada ukuran (luas) 3x3 meter agar efisiensinya mencapai 75 persen. Selama ini, keramba di Danau Toba umumnya 3x3 meter dengan kedalaman 3-5 meter, walau sering diklaim 10 meter agar aman dari protes publik atau aktivis lingkungan," katanya serius.
Hal senada dicetuskan Saudara Sihombing yang juga tokoh HKBP Paledang Bogor, bahwa pengembangan perikanan jala apung (KJA) di Danau Toba dengan perubahsan ukuran luas satu meter kubik sudah dicoba di lima kecamatan pada 1989 yaitu Ambarita, Balige, Muara, Pangururan dan Simanindo. Namun problemnya saat itu produk ikan mas hasil KJA tidak laku di pasaran karena produksinya melebihi konsumsi.
"Selain itu, LPSW kerja sama dengan ITB dengan dukungan USAID, GYZ Jerman dan Canada, merancang sistem penyaluran air danau ke daratan untuk KJA dan kawasan desa penduduk (hidrolik ram), Tapi proyek ini batal sehingga kami kembali ke Jakarta, pada 1995 lalu," katanya sembari menyebut rekan tim-nya ketika itu: Prof JH Hutasoit, DR Bonar Pasaribu, dan Prof DTH Sihombing. (A5/a)