Medan (SIB) -Masyarakat adat Panduaman Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan berharap terbitnya Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat bisa menjadi dasar pengelolaan 5172 hektare lahan oleh masyarakat adat. Hal itu terungkap dalam diskusi terbatas sejumlah elemen masyarakat sipil yang meliputi Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, KSPPM, Bakumsu, HaRI dan Aman Tano Batak bersama eksekutif dan anggota legislatif Kabupaten Humbang Hasundutan, Selasa (24/7), di Medan.
Diskusi yang dilakukan dalam rangka mengevaluasi atas diterbitkannya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, dalam Rapat Paripurna DPRD Humbang Hasundutan 3 Juli 2018 di Ruang Rapat DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan.
Terbitnya Perda tersebut patut disyukuri karena telah menempuh proses dan perjuangan panjang sejak Juni 2009 oleh masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dan akhirnya berhasil mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas hak-hak adatnya.
Dalam rapat itu terungkap Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat itu menjadi Perda pertama di kawasan Danau Toba yang dibuat melalui mekanisme yang sangat partisipatif. Diawali dikeluarkannya wilayah adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta oleh Menteri KLHK sebagaimana diamanatkan UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Ke depan diharapkan Perda itu benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta sehingga perlu dilakukan desakan agar segera mempercepat proses dieluarkannya nomor registrasi Perda tersebut agar peristiwa bersejarah itu bisa segera melangkah ke tahap selanjutnya, yakni dikeluarkannya SK Hutan Adat oleh Menteri terhadap lahan seluas 5172 hektar yang dipetakan masyarakat secara partisipatif.
Selain itu, Perda menghendaki pemerintah bersikap lebih tegas terhadap pihak pihak yang terkait dengan dampak dari penerbitan Perda tersebut.
Ketua Komunitas Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta James Sinambela memaparkan bagaimana perjuangan panjang komunitas sudah dilakukan sejak 2009.
"Dalam perjuangan ini kami sudah berjanji, lebih baik mati daripada mati-mati, artinya apapun ceritanya tanah adat kami harus kembali. Bahkan kami pernah dipenjara karena mempertahankan tanah adat kami. Kami hanya ingin tanah adat kami kembali. Kami tidak mau kurang dari situ, kami juga tidak mau lebih bahkan satu jengkal pun. Kami hanya mau hak kami kembali," ujarnya.
Sementara itu, pihak Pemkab Humbahas mengatakan, Pemkab telah melakukan upaya yang maksimal dalam penerbitan Perda tersebut, dan pada 2019 akan menganggarkan dana untuk pemetaan wilayah masyarakat adat yang diatur dalam Perda tersebut. (A07/d)