Washington (SIB)- Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah lama menarik perhatian dunia, termasuk Amerika Serikat (AS). Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengungkapkan harapannya untuk meredam konflik antara keduanya. Menurut informasi dari salah seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri pada Selasa (31/12), Kerry akan melakukan pembicaraan seputar perdamaian pekan ini sebelum mencapai kesepakatan pada April mendatang.
Meski demikian, Kerry tidak berharap banyak apalagi dapat menghasilkan terobosan besar selama kunjungannya nanti. Ia hanya menginginkan kedua belah pihak terdorong untuk menyepakati kerangka prinsip-prinsip yang dirancangnya, seperti keamanan, masa depan Jerusalem, dan nasib para pengungsi sesegera mungkin. Selain itu, Israel juga diharapkan mau melepas 26 tahanan Palestina.
"Kerangka ini merupakan dasar untuk negosiasi perjanjian perdamaian final antara kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan, garis atau pedoman untuk mencapai kesepakatan akhir terlihat secara lebih detail," tutur seorang pejabat yang enggan disebut identitasnya, seperti dikutip detikcom dari Reuters, Rabu (1/1)
Sebelumnya, ia sempat menolak berkomentar perihal kesepakatan yang dirancang oleh para pejabatan AS untuk April mendatang. "Ini menjadi proses dari dua tahap, yakni mencakup kesepakatan mengenai kerangka kerja untuk negosiasi dan perjanjian status permanen atau perjanjian damai," imbuhnya. Ia juga menambahkan, mereka sudah siap menjembatani kesenjangan antara kedua negara yang terlibat sengketa itu. Ia pun berharap dapat mencapai kesepakatan kerja ini sesegera mungkin.
Keinginan Amerika mengakhiri konflik Israel-Palestina tampaknya akan menghadapi rintangan yang cukup besar. PM Israel Benjamin Netanyahu di dalam satu pernyataan menyampaikan keraguannya mengenai komitmen Palestina bagi proses perdamaian, sebelum pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri AS John Kerry.
Netanyahu dan Kerry, masing-masing, mengeluarkan pernyataan singkat sebelum pertemuan mereka di Kantor Perdana Menteri di Jerusalem, dua jam setelah Menteri Luar Negeri AS tersebut mendarat di Israel dalam upaya menyelamatkan pembicaraan perdamaian --yang macet.
"Mengingat tindakan dan ucapan para pemimpin Palestina, kami memiliki keraguan bahwa mereka berkomitmen pada perdamaian," kata Netanyahu --yang mengarahkan tudingannya kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas karena ia tidak mengutuk serangan gerilyawan terhadap orang Israel dalam beberapa pekan belakangan. "Perdamaian berarti mengakui Israel sebagai negara bangsa Yahudi," kata Netanyahu, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat pagi. "Abbas harus menolak teror dan merangkul perdamaian."
Sebelumnya dalam taklimat yang dituan-rumahi oleh Kementerian Pembangunan Negev dan Galilee di Kota Tiberias, bagian utara Tepi Barat Sungai Jordan, Netanyahu mengatakan, "Perdamaian hanya akan terwujud ketika kepentingan permukiman dan keamanan kami terjamin." Kesepakatan perdamaian yang mungkin dicapai antara Israel dan Palestina tergantung atas terjaminnya "kepentingan permukiman dan keamanan" Israel, kata Netanyahu, Selasa (31/12).
Itu adalah untuk pertama kali Netanyahu menambahkan permukiman di Tepi Barat ke dalam tuntutan yang sering disampaikannya bagi jaminan keamanan kuat bagi penandatanganan kesepakatan perdamaian. Pernyataan tersebut dikeluarkan saat Menteri Luar Negeri AS John Kerry dijadwalkan tiba di wilayah itu pada Kamis guna memajukan upaya untuk mewujudkan perdamaian.
Pada Minggu (29/12), anggota Partai Likud di Komite Kementerian mengenai Peraturan memberi suara yang mendukung rancangan undang-undang yang kontroversial untuk mencaplok Lembah Jordan. Tindakan tersebut memicu kemarahan rakyat Palestina dan faksi oposisi yang condong ke kiri di Parlemen Israel. (Detikcom/Ant/Xinhua/q)