Washington, DC (SIB)
Para pemimpin dunia mengecam aksi kekerasan di Washington DC, ketika sejumlah demonstran mendukung Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyerbu Gedung Capitol. Banyak pemimpin menyerukan perdamaian dan transisi kekuasaan yang tertib, serta menggambarkan apa yang terjadi sebagai "mengerikan" dan "serangan terhadap demokrasi".
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengecam kejadian itu dan menyebutnya sebagai "pemandangan yang memalukan". "Amerika Serikat mewakili demokrasi di seluruh dunia dan sekarang sangat penting adanya transfer kekuasaan yang damai dan tertib," tulisnya di Twitter.
Sejumlah politisi Inggris lainnya mengikuti langkah Johnson dan mengkritik kekerasan yang berlangsung, termasuk pemimpin oposisi, Sir Keir Starmer, yang menyebutnya sebagai "serangan langsung terhadap demokrasi". Pemimpin Skotlandia, Nicola Sturgeon, menyatakan melalui Twitter bahwa pemandangan dari Gedung Capitol "benar-benar mengerikan".
Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, mengatakan: Saya percaya pada kekuatan demokrasi AS. Kepresidenan baru Joe Biden akan mengatasi tahap yang menegangkan ini, menyatukan rakyat Amerika.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, mengecam "serangan mengerikan terhadap demokrasi". Sementara, Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mengatakan Trump dan pendukungnya harus menerima keputusan akhir para pemilih Amerika dan berhenti menginjak-injak demokrasi.
Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, mengatakan dirinya mempercayai AS untuk memastikan transfer kekuasaan secara damai kepada Biden. Adapun Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan dia berharap untuk bekerja sama dengan presiden terpilih dari partai Demokrat tersebut.
Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Jens Stoltenberg, turut bersuara dengan mengatakan bahwa hasil pemilihan harus dihormati.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau mengatakan warga Kanada sangat terganggu dan sedih dengan serangan terhadap demokrasi. "Kekerasan tidak akan pernah berhasil mengesampingkan keinginan rakyat. Demokrasi di AS harus ditegakkan - dan itu akan berhasil," tulisnya di Twitter.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengecam "pemandangan yang menyedihkan†itu dan mengatakan bahwa dia menantikan transfer kekuasaan secara damai.
Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan pihaknya mengundang semua pihak untuk berperilaku dengan mengendalikan diri dan akal sehat. Pemerintah Venezuela mengatakan bahwa dengan kejadian yang disesalkan ini, Amerika Serikat mengalami hal-hal yang sama yang telah dipicunya di negara-negara lain akibat kebijakan-kebijakan agresinya.
Permalukan Amerika
Sementara itu, penyerbuan Capitol Hill oleh pendukung Donald Trump pada Rabu (6/1) mendominasi halaman depan (headline) mayoritas surat kabar di seluruh dunia. Judul-judul tajuk utama juga dibuat membara seperti “Trump membakar Washingtonâ€,
“Demokrasi di bawah pengepunganâ€, dan “Kudeta kegilaanâ€. Sebagian besar media internasional langsung menyalahkan Trump, menuduhnya telah mendorong terjadinya kekerasan sebagaimana dilansir dari AFP, Kamis (7/1). Salah satu media di Inggris, The Times, menulis judul tajuk utama berbunyi "Pendukung Trump menghantam jantung demokrasi Amerika".
Sebelumnya, The Times juga melaporkan bahwa anggota Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama memakai masker gas dan berlindung di bawah meja dan staf bersembunyi di kantor. The Daily Telegraph juga membuat headline berjudul "Demokrasi di bawah pengepunganâ€. Media itu melaporkan adanya aksi kekerasan dan kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Washington saat gerombolan pendukung Trump menyerbu Capitol Hill.
The Guardian turut melaporkan bahwa insiden itu mewakili tantangan paling dramatis bagi sistem demokrasi AS sejak perang saudara. Hari yang memalukan "Kekacauan" dan "rasa malu" adalah kata-kata yang muncul berulang kali di surat kabar utama Eropa. Die Welt memuat editorial oleh korespondennya, Clemens Wergin, dengan judul "Hari memalukan bagi demokrasi Amerika".
"AS telah mengalami kudeta kekerasan tentatif pertamanya", tulis Wergin. Dia menambahkan bahwa presiden, kebohongannya, dan partai Republik yang tidak berdaya bertanggung jawab secara politik.
Suddeutsche Zeitung, mempublikasikan headline berjudul "Kudeta kegilaan" dan juga melaporkan tentang "rasa malu Washington". Sementara di Spanyol, media El Pais menulis bahwa Trump telah mendorong kekacauan. Surat kabar harian asal Italia, La Repubblica, melangkah lebih jauh karena menghubungkan insiden itu dengan kenaikan diktator Italia Benito Mussolini ke tampuk kekuasaan pada 1920-an. "Amerika - seluruh Amerika - menyaksikan dengan ngeri saat padanan The March on Rome berlangsung di Washington melalui siaran langsung televisi - invasi Capitol, serangan terhadap kesakralan demokrasi itu sendiri,†bunyi artikel di La Republicca yang ditulis oleh Mario Platero.
Sementara itu, La Corriere della Serra menguliti profil Proud Boys yang mendukung Trump. "Trump: a strategy of chaos" adalah tajuk halaman depan harian Liberation dari Perancis yang kemudian memperkuat poin di halaman dalamnya dengan judul "Trump membakar Washington". "Serangan Donald Trump terhadap demokrasi Amerika menjadi konkret dan juga simbolis pada Rabu, ketika para pendukungnya, yang sangat marah dengan pidatonya, berhasil masuk ke Capitol," tulis artikel itu.
Kolumnis Philippe Gelie mengkritik Trump habis-habisan dengan menyebutnya menganiaya institusi, menginjak-injak demokrasi, membagi kampnya, dan membuang kepresidenannya ke dalam parit. Medai asal Brasil, O Globo, melaporkan bahwa AS telah jatuh ke tingkat negara-negara Amerika Latin. "Sasarannya adalah Capitol, bukan Menara Kembar, tapi ini juga terorisme," tulis Eliane Cantanhede di O Estado de S Paulo, surat kabar Brasil lainnya. "Terorisme domestik, internal, terhadap Capitol, api dikobarkan oleh Presiden Donald Trump sendiri,†imbuh Cantanhede.
Harian asal Mesir, Al-Ahram, menulis bahwa insiden penyerbuan Capitol Hill merupakan kejadian yang memalukan. Penyerbuan itu dinilai Al Ahram menunjukkan demokrasi AS yang menjadi korban, kematian kebebasan, dan anjloknya nilai-nilai yang terus-menerus dicoba untuk diekspor ke seluruh dunia dan digunakan sebagai alasan untuk ikut campur dalam urusan negara lain. (AFP/kps/dtc/c)
Sumber
: Hariansib edisi cetak