Washington (SIB)- Seorang miliarder Amerika Serikat meningkatkan kampanyenya untuk melengserkan Presiden Donald Trump. Dia pun akan menyuntikkan dana US$ 30 juta untuk upaya Partai Demokrat menguasai kembali Kongres AS. Tom Steyer (60), telah menghabiskan dana puluhan juta dolar AS untuk kampanye politik dan penjangkauan pemilih akar rumput sejak tahun 2016. Membantah apa yang diperkirakan sejumlah pengamat, dia menyatakan tak akan mencalonkan diri untuk posisi apapun tahun ini.
Steyer justru akan fokus untuk memobilisasi para pemilih muda dan merebut kursi-kursi Partai Republik sehingga DPR kembali dikuasai Demokrat. Dikatakan Steyer, dirinya punya tujuan utama lainnya. "Tugas saya adalah menggulingkan Donald Trump dari jabatan," kata Steyer kepada para wartawan di Washington seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (9/1). "2018 adalah pertempuran untuk jiwa negara ini. Karena itulah saya masuk," imbuh miliarder yang juga aktivis dan pemerhati lingkungan hidup itu.
Tahun lalu, Steyer memulai Need to Impeach, kampanye yang menyerukan warga Amerika untuk mengajukan petisi ke para anggota Kongres agar memakzulkan Trump.
Kampanye yang dimulai pada Oktober 2017 itu, kini telah mendapatkan 4,1 juta tanda tangan. Kampanye itu dimulai dengan iklan di sebuah televisi kabel senilai jutaan dolar AS.
Steyer mengatakan, dirinya kini berniat memperluas kampanye pemakzulan Trump untuk melibatkan para pemilih muda AS guna mencapai hasil yang sama ketika pemilihan parlemen November lalu, saat puluhan politikus Republik tersingkir dari jabatannya.
Kampanye baru yang diberi nama NextGen Rising ini, dimaksudkan untuk menjangkau lebih dari 3 juta pemilih kaum muda. Di sebut-sebut ini akan menjadi upaya pemilih muda terbesar dalam sejarah AS. "Saya bersedia melakukan apapun yang diperlukan untuk membantu menyelamatkan negara kita," tutur Steyer.
Kepala Badan Sandi Negara Amerika Serikat (CIA) mengatakan bahwa Rusia dan pihak lain mencoba mengacaukan pemilihan umum di AS, yang selanjutnya akan dilaksanakan pada November dengan pemilihan anggota Kongres.
Badan intelijen AS itu menyimpulkan bahwa Rusia mencampuri Pemilihan Presiden AS 2016 untuk membantu pemenangan Presiden Donald Trump, yang sebagian dilakukan melalui peretasan, penyebaran surat elektronik, guna menjatuhkan calon presiden dari Demokrat, Hillary Clinton, serta menyebarkan propaganda di media gaul.
Direktur CIA Mike Pompeo mengatakan kepada CBS bahwa gangguan Rusia sudah berlangsung lama dan terus berlanjut. Saat ditanya pada acara "Face the Nation" tentang ulah Moskow saat ini, maka ia memastikan peran Rusia tersebut telah berlangsung puluhan tahun.
Moskow menyangkal ikut campur tangan dalam Pilpres AS 2016 untuk membantu kemenangan Trump dari Partai Republik. Penasihat Khusus AS Robert Mueller sedang menyelidiki apakah ada kejahatan yang dilakukan. Dua rekan Trump, mantan penasihat keamanan nasional Michael Flynn dan ajudan kampanye George Papadopoulos telah mengaku bersalah berbohong kepada agen biro federal sandi negara AS (FBI) dalam penyelidikan tersebut. Namun, Trump menyangkal adanya persekongkolan kampanye dengan Rusia.
Trump terkadang menyarankan agar menerima penilaian badan intelijen AS bahwa Rusia berusaha untuk ikut campur dalam pemilihan tersebut, namun di lain waktu telah mengatakan bahwa dirinya menerima penyangkalan Presiden Rusia Vladimir Putin yang dituduh bahwa Moskow ikut campur. Trump kerap mengatakan keinginannya memperbaiki hubungan dengan Putin, meski Rusia telah membuat frustrasi AS di Suriah dan Ukraina dan sedikit berkontribusi dalam kebuntuan dengan Korea Utara.
Pompeo mengatakan kepada CBS bahwa CIA memiliki fungsi penting sebagai bagian dari tim keamanan nasional untuk menjaga Pemilu AS tetap aman dan demokratis. "Kami bekerja keras untuk melakukan itu, jadi kita akan bekerja untuk melawan Rusia atau pihak lain yang mengancam hasil itu," katanya.
Pada Sabtu (6/1), Trump mengatakan merencanakan tahun aktif di jalur kampanye atas nama calon dari Partai Republik, yang mengikuti pemilihan umum sela, dengan semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sepertiga dari Senat akan dipilih. Partai Republik memegang mayoritas di keduanya.
TIDAK HAFAL TEKS LAGU KEBANGSAAN
Presiden Amerika Serikat Donald Trump seolah tak henti membuat kontroversi, kali ini terkait lagu kebangsaan negeri itu. Pada Senin (8/1), Presiden Trump datang ke pertandingan babak playoff sepak bola Amerika tingkat universitas antara Alabama Crimson Tide melawan Georgia Bulldogs di Atlanta.
Saat memasuki stadion, suara sorak sorai penonton, termasuk yang mengolok-olok, menyambut Presiden Trump. Kemudian, Trump berdiri di tengah lapangan bersama para pemain untuk mendengarkan lagu kebangsaan "The Stars Spangled Banners" dikumandangkan.
Di sinilah muncul kontroversi, karena Trump terlihat kesulitan dan terlihat beberapa kali salah menyanyikan teks lagu kebangsaan itu. Kontan saja komentar di media sosial bermunculan dan mempertanyakan apakah Trump lupa dengan teks lagu kebangsaan dan memicu kembali spekulasi soal kesehatan mentalnya.
Trump terlihat bisa menyanyikan bagian awal lagu kebangsaan, tetapi kemudian terbata-bata saat menyanyikan bagian berikutnya sebelum akhirnya memilih untuk tidak bernyanyi. Hal ini menjadi ironis karena Trump pernah mengkritik seorang pemain sepak bola profesional yang berlutut saat lagu kebangsaan dikumandangkan.
Sang pemain melakukan aksi berlutut itu sebagai wujud protes terhadap ketidakadilan rasial di Amerika Serikat. "Kita semua ingin bendera nasional dihormati dan kita ingin lagu kebangsaan dihormati," ujar Trump dalam pidatonya pada Senin siang di Nashville, Tennessee. (Detikcom/kps/f)