Jakarta (SIB)- Rancangan Undang- Undang Kebudayaan yang dibahas Badan Legislasi DPR RI dinilai masih cenderung memandang kebudayaan dari aspek ekonomi semata. Padahal, ada banyak produk budaya yang kurang bernilai ekonomi tetapi bermakna.
Demikian disampaikan pengajar Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso dalam diskusi tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8). “Museum-museum kita banyak yang rusak dan tak terawat karena tidak ada apresiasi pada sejarah. Museum dianggap kurang bernilai ekonomis sehingga tidak dialokasikan anggaran yang cukup untuk perawatan,†katanya.
Dalam kesempatan sama, Ketua Panitia Kerja RUU Kebudayaan Ridwan Hisyam mengharapkan RUU Kebudayaan bisa mendongkrak pendapatan negara dari sektor pariwisata. Apalagi, dalam waktu dekat, akan ada 16 industri kreatif yang dibuat Badan Ekonomi Kreatif yang telah dicadangkan anggaran Rp 1,5 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015.
Menurut Bondan, RUU Kebudayaan juga masih cenderung berfokus pada persoalan pengelolaan kebudayaan. Padahal, selain dirawat dan dilestarikan, kebudayaan juga harus dikembangkan. “Perlu diciptakan ruang-ruang dalam masyarakat agar bisa mengembangkan kebudayaan yang sehat bagi masa depan Indonesia,†katanya.
Budayawan Radhar Panca Dahana masih konsisten mengusulkan perlunya pembedaan yang tegas antara kebudayaan sebagai gagasan dan pemikiran dengan produk-produk budaya sebagai hasil pemikiran tersebut. Jangan sampai, keberadaan RUU Kebudayaan justru memangkas atau mengganggu ranah gagasan. RUU ini hendaknya cukup mengatur produk-produk budaya saja.
Radhar mengusulkan judul RUU Pengelolaan Produk Kebudayaan. Dengan demikian, perundangan ini fokus mengatur material atau produk-produk kebudayaan, bukan gagasannya.
KOMUNITAS, TRADISI, RELIGIPemerhati budaya dan pengajar filsafat di Universitas Indonesia (UI), Tommy F Awuy, memberi beberapa catatan pada RUU Kebudayaan. Pertama, istilah “organisasi masyarakat†dan “komunitas†masih sangat rancu. “Organisasi masyarakat (ormas)†yang digunakan di sini akan sangat mudah tergelincir menjadi sangat politis karena ormas mengesankan gerakan “pengerahan massa†yang fokus pada tuntutan hak politik. Ini sangat sensitif dan bisa berbahaya dalam pengembangan kebudayaan.
Pada soal unsur-unsur kebudayaan, tidak disebutkan unsur religi, tetapi dalam Komite Penyelenggaraan Kebudayaan tercantum perwakilan dari unsur agama. “Bagaimana hal ini mungkin? Ini membuat persoalan jadi sangat rumit jika tak diterangkan dengan jelas,†katanya.
Tentang perlindungan terhadap tradisi, poin-poinnya masih sangat mentah, tidak menjabarkan cara perlindungan berhadapan dengan budaya modern dan kontemporer-postmodern. “Jika kebudayaan dalam draf ini diartikan sebagai semua daya cipta manusia, lalu kenapa unsur religi-agama tidak disertakan? Ini tantangan yang sangat sensitif,†katanya.
Tommy juga menyoroti multikulturalisme yang masih kabur. Tanpa hadirnya konsep “pengakuan atas perbedaan†yang membangun “kebersamaan dalam perbedaanâ€, maka multikulturalisme tak akan berarti apa- apa. Relasi perbedaan dan kebersamaan itu tidak dijelaskan dengan baik.
Ridwan menambahkan, RUU Kebudayaan masih terbuka untuk direvisi dan ditambahi poin- poin baru. Setelah dibahas (proses harmonisasi) dalam Badan Legislasi DPR RI, RUU ini masih akan dibahas lagi bersama dengan pemerintah.
(Kps.com/d)