Jumat, 22 November 2024

Perlukah "Patortor Parumaen" Dilestarikan ?

- Sabtu, 23 Mei 2015 20:14 WIB
3.943 view
Perlukah
Tulisan saudara Waldemar Simamora dari Tarutung pada Edisi SIB 19 Mei 2015 yang lalu sungguh menarik dan menggugah perhatian untuk menyampaikan tanggapan yang positip atas perhatian Beliau tentang Esensi “Patortorhon Parumaen”. Untuk itu pertama-tama penulis menyampaikan  terima kasih dan penghargaan kepada Beliau, semoga Tuhan memberi umur yang panjang serta kesehatan dalam mengikuti fenomena perkembangan adat masyarakat Batak Toba yang amat dinamis itu. Demikian juga kepada Redaksi Penanggungjawab  Rubrik “Lembaran Budaya”  SIB, yang senantiasa menaruh perhatian besar atas perkembangan tradisi dan adat-istiadat/budaya masyarakat Batak. Kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, sembari mengucapkan Selamat Ulang Tahun SIB yang ke-45, semoga SIB tetap bersinar memberi pencerahan pada seluruh aspek kehidupan Bangsa.

Acara “Patortorhon Parumaen” dalam Pesta Perkawinan masyarakat Batak Toba memang merupakan fenomena baru yang menurut Sdr Waldemar berkembangnya ada kurang lebih sepuluh tahun. Apabila penulis yang pertama tidak berpretensi atau tidak dalam posisi menerima atau menolak atas pertambahan acara “patortorhon parumaen” dalam acara perkawinan Batak Toba,penulis kali ini akan mencoba berdiri pada pihak yang kurang setuju dengan motif dan alasan yang hampir sama yakni dari aspek urgensi dan esensi sebagaimana dikemukakan penulis yang pertama. Dengan harapan, kelak akan mendapat respons terutama dari kalangan Raja-raja Adat dan pihak-pihak yang sangat setuju/mendukung acara “patortorhon  parumaen”, pada pesta perkawinan, sehingga di kemudian hari kita dapat memilih dan menetapkan tradisi mana yang terbaik untuk diwariskan bagi generasi muda mendatang, khususnya bagi masyarakat Batak.

ASAL MULA PATORTORHON  PARUMAEN

Dalam sejarahnya dan menurut penuturan orang-orangtua, dahulu apabila ada pesta perkawinan antara anak Raja, bahwa untuk memperkenalkan parumaen yang baru, selalu diadakan acara khusus “patortorhon parumaen” yang diikuti oleh kerabat “dongan saripe”, “dongan sahuta/saparadaton” bersama boru-bere hasuhuton atau pihak pengantin laki-laki. Acara “manortor” ini dimaksudkan untuk  memperkenalkan parumaen yang baru kepada dongan tubu (kerabat), dongan sahuta maupun kepada boru bere pihak “Hasuhuton” (pengantin laki-laki). Dalam hal ini bentuk tari yang diperagakan itu antara lain berupa “tortor paniaran” (tarian para ibu-ibu) dalam lingkungan kerabat atau keluarga dan sekampung atau satu lingkungan adat.

Bentuk acara tortor ini benar-benar untuk memperkenalkan “parumaen yang baru” kepada seluruh kerabat/keluarga dan sekampung dengan “tortor marpaniaran”. Lazimnya tortor ini dimulai atau dipimpin dan dituntun oleh Pengetuai seperti “Raja Tinonggo atau Raja Panungkunan”. Berikutnya acara tortor demi tortor diserahkan kepada kaum ibu-ibu seperti “tortor siboru”, “tortor sampur marmeme” dan lain-lain. Acara tarian bersama (“tortor”) ini dilakukan di lain hari acara pokok pernikahan, sehingga pesta perkawinan antara Raja-raja ini konon bisa berlangsung dua atau sampai tiga hari. Inilah rekaman yang dapat dipahami dari acara “patortorhon  parumaen” pada awalnya dalam tradisi adat-istiadat atau pada acara perkawinan masyarakat Batak (Toba) dahulu kala.

PERBEDAANNYA DENGAN MASA KINI

Acara patortorhon parumaen masa kini sudah menjadi fenomena yang meluas di berbagai daerah seperti di Bona Pasogit dan di wilayah perantauan pada pesta perkawinan oleh masyarakat Batak Toba (kecuali Kota Medan), Tebingtinggi, Pematangsiantar dan Tarutung, (yang belum lazim). Kalau penulis tidak salah mengamati, menjamurnya bentuk acara ini dimulai dari daerah /Wilayah Toba lebih kurang 15 tahun yang lalu, secara sporadis meluas ke Simalungun dan bona pasogit lainnya, Dairi dan hingga keperantauan seperti Langkat, Deliserdang, Asahan, Labuhanbatu bahkan sampai ke daerah Riau.

Dahulu kala acara seperti itu dimulai oleh kalangan Raja-raja dan bukan pada acara puncak Pesta Pernikahan, tetapi   diadakan pada hari kedua atau ketiga setelah selesainya acara “adat” kepada “hula-hula pangalapan boru”. Masa kini, adalah pada acara puncak  pesta perkawinan, setelah selesai acara pemberkatan dari gereja (bagi perkawinan Kristen), dan belum ada acara adat kepada hula-hula “pangalapan boru”. Dahulu tidak dengan memancing atau mengundang hula-hula untuk “manabe-nabe” atau “mangolop-olopi” (diwarnai pemberian uang, red) pengantin atau keluarga pihak pengantin laki-laki (“par-anak”), melainkan hanya untuk menghormati “dongan tubu dan dongan sahuta” dan manabe-nabei boru atau bere dari keluarga pengantin laki-laki (Hasuhuton). Perbedaan yang amat menyolok pertama, adalah : dahulu dilakukan dengan bentuk  tortor ritual yaitu “tortor marpaniaran” yaitu sejenis tarian atau tortor Batak yang tradisional, hikmat dan penuh rasa syukur kepada Tuhan Maha Pencipta (“Mulajadi Nabolon”) dengan iringan gendang dan “Gondang Sabangunan”. Tortor ini mengikuti tahapan “tujuh tortor” yang berlaku umum dalam tortor - adat Batak Toba. Tidak seperti sekarang yang hanya diiringi “musik keyboard” yang berasal dari Eropa. Kedua, dahulu Hula-hula tidak memberi uang atau “mangolop-olopi”, kecuali “Tulang penganti laki-laki”, yang sebelumnya telah turut membantu atau “manumpahi” perkawinan berenya. Oleh karenanya kehadiran atau keikutsertaan pihak hula-hula/Tulang  hanya menyampaikan tortor pemberi berkat atau tortor dukungan/pengukuhan kepada kedua mempelai.

Acara patortor parumaen yang sekarang tidak lagi dengan tortor Batak yang benar dan bukan pula dengan musik tradisional seperti “Gondang Sabangunan” melainkan hanya dengan musik yang asalnya dari luar Tanah Batak. Dahulu dengan ritme dan musik tradisional yang bernuansa ritual, sekarang lebih banyak dengan tari dangdut dengan irama dan lagu-lagu Melayu, bahkan cenderung seakan tari dan lagu hura-hura yang hanya melampiaskan nafsu tari yang tidak beraturan bahkan tidak beretika lagi (menurut sopan-santun masyarakat Batak). Ketiga, acara panortoron masa kini tidak lagi mencerminkan budaya Batak yang amat menjunjung tinggi etika dan moral. Keempat, para mempelai masa kini tidak menguasai tortor Batak tradisional, tetapi sama saja dengan gerak  tarian orang pada umumnya. Kelima, acara tortor “marpaniaran” dahulu lengkap dengan pakaian adat Batak terutama buat ibu-ibu di antaranya ulos dan pakaian adat seperti “sarung puca” untuk ibu-ibu. Sedangkan Masa kini, pakaian kita pada waktu menari atau manortor hanyalah pakaian pesta biasa dan tidak seluruhnya memakai ulos lengkap ketika acara tari/manortor. Keenam, dahulu yang menyampaikan ulos dari pihak hula-hula adalah terbatas, seperti Ulos Tulang Pengantin Laki-laki awalnya hanya satu lembar. Sedangkan masa kini, bukan saja pihak Hula-hula, bahkan seluruh undangan atau kerabat pihak parboru sudah menyampaikan ulos tanpa batas dan tidak mengenal kategori lagi.

MAKNA DAN URGENSI

Menurut penulis pertama esensi “patortor parumaen” memiliki sisi positip, seperti terciptanya suasana keakraban dari berbagai kelompok kerabat, dan memperkenalkan putri Hula-hula (pengantin) kepada kelompok-kelompok kerabat dari “Hasuhuton”; sebagai ajang gotong-royong untuk mengumpulkan biaya pesta; merupakan pelestarian tari tradisional masyarakat Batak Toba. Yang terakhir ini, “esensi sisi positip” berupa pelestarian tari tradisional masyarakat Batak Toba, kurang dapat dipahami oleh penulis, sebab secara kasat mata pada acara “patortorhon parumaen” masa kini, sudah hampir  tidak mencerminkan tarian tortor Batak yang benar. Terhadap sisi positip  sebagai “ajang gotong royong” untuk pembiayaan pesta, juga penulis kurang sependapat, karena Hula-hula tidak relevan diminta untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pesta. Dan lagi pula kalangan Raja, tidak akan pernah meminta bantuan atau pertolongan untuk pembiayaan pestanya, karena anak Raja yang kawin adalah Anak Raja pemberi yang siap melayani tamu-tamu dengan makanan dan tutur kata yang menyenangkan hati seluruh tamu maupun para pihak di dalam pesta. Sisi positip yang pertama yang dikemukakan oleh Saudara Waldemar, barangkali akan dapat diterima oleh seluruh masyarakat Batak yaitu terciptanya suasana keakraban dari berbagai kelompok kerabat dan untuk memperkenalkan kedua pengantin (seperti motif dahulukala). Dan memang makna tujuan diselenggarakannya suatu pesta, selain untuk memperkenalkan pengantin baru, tentulah untuk menjalin silaturahmi dan meningkatkan hubungan kekerabatan. Oleh karenanya, urgensi “patortor parumaen” terutama adalah untuk memperkenalkan pengantin atau pasangan rumah tangga baru dalam keluarga. Dan janganlah dengan bahasa yang kurang mencerminkan bahasa raja, seperti untuk menutupi biaya pesta, sebab kita adalah parbahul-bahul Nabolon”, anak-anak Raja :

- parsangkalan nasoramahiang, parlage sobalunon, babiat di pintu-gompul  do ianggo di alaman Sirungrungi nadapot bubu, siharhari nadapot sambil; dan lain-lain (amat banyak) perumpamaan yang mencerminkan bahwa kita adalah “Anak-anak Raja” dan “Angka boru ni Namora”. Pesta yang diselenggarakan oleh Anak-anak Raja, tentulah tidak akan membiarkan tamunya kelaparan hingga diberi/disuguhi makan menjelang sore hari, dan memberangkatkan kembali atau pulang Hula-hula pada  malam hari karena pesta yang berkepanjangan hingga malam. Anak-anak Raja tentulah tidak akan menyusahi rombongan Hula-hulanya dalam menghadiri acara pestanya.

- Pesta orang Batak terutama dalam pesta perkawinan, akan menyenangkan hati hula-hula, karena pemberian juhut (“mangan juhut”) dan sinamot yang besar, serta dengan perkenalan (“panandaion”) kepada seluruh kerabat yang hadir yang merupakan penghargaan yang tinggi atas kehadiran semua kerabat terutama pihak hula-hula;

- Pesta Orang Batak lazimnya merupakan upaya peningkatan hubungan silaturahmi terhadap seluruh kerabat dan pesta pembukaan tali hubungan baru atau bertambahnya “partuturon” di dalam pesta perkawinan, yang menjadi ciri khas dan identitas utama masyarakat Batak.

BEBERAPA AZAS PADA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA

Pada dasarnya pesta perkawinan merupakan pesta pertambahan anggota keluarga dan bertambahnya kerabat di satu pihak. Sedangkan di lain pihak (par-boru) merupakan pesta pelepasan salah seorang anggota keluarga (clan), yang akan ditabalkan sebagai “Parumaen baru” bagi pihak laki-laki. Pada pihak parboru menjadi pihak yang akan menerima penggantian secara magis dalam bentuk sinamot dari pihak paranak. Bagi kedua belah pihak, merupakan pertambahan famili atau kerabat, dan akan saling memperkenalkan kerabat dari masing-masing pihak. Inilah esensi dan makna pesta perkawinan, sehingga pihak pengantin laki-laki, secara ikhlas dan berbesar hati menyerahkan “juhut” dan “sinamot” yang besar bahkan “panandaion” terhadap seluruh unsur Hula-hula yang menghadiri pesta perkawinan.

Oleh karena makna  dan  esensi di atas, maka perkawinan dalam masyarakat Batak Toba akan mendemonstrasikan tutur-sapa yang sangat hormat terhadap seluruh pihak hula-hula maupun kerabat dari kedua-belah pihak.

Untuk itulah diperlukan Raja Parhata atau “Parsinabung” yang bijak dan memiliki kharisma pembicara yang cukup baik, sopan, dan terhormat dalam menghadapi dan melayani tamu-tamu terlebih kepada pihak Hula-hula di dalam struktur Dalihan Natolu. Pembicaraan dengan “umpasa” melalui tutur kata yang terhormat beretika, merupakan azas utama dalam puncak acara pesta perkawinan. Kedua, oleh karena Hula-hula yang akan melepaskan salah seorang putrinya adalah pihak “Niambangan” (yang dihadapi/dihormati), maka sepatutnya tidak turut dibiarkan memberi “uang olop-olop” kepada pihak pengantin laki-laki (“paranak”). Cukuplah pihak boru-bere Hasuhuton atau keluarga pengantin laki-laki saja yang dibenarkan dan diharapkan untuk membantu pembiayaan pesta. Azas perkawinan lainnya yang tidak boleh dilupakan ialah pengenalan terhadap seluruh keluarga pihak par-boru secara sungguh-sungguh. Di sinilah makna acara “panandaion” yang tidak boleh disepelekan oleh Paranak; Yang untuk pihak Parboru melalui penyampaian sebagian sinamot kepada Tulang pengantin laki-laki pada acara “tintin marangkup”.

Sedangkan acara penyampaian ulos dengan doa berikut permohonan berkat oleh pihak Hula-hula merupakan acara penobatan pihak parboru atas pernikahan dengan pemberian ulos yang terutama berupa “Ulos Hela” buat kedua pengantin dan “Ulos Pansamot” untuk orangtua pengantin laki-laki. Azas pemberkatan atau doa restu di dalam adat seharusnya menjadi acara puncak pada acara perkawinan, yang didahului oleh pemberkatan Pendeta, dan pemberkatan pihak Hula-hula.
Sedangkan “Ulaon sadari” berupa gabungan acara “Ulak Une” dan “tikkir tangga” adalah salah satu penyederhanaan adat pada masyarakat Batak Toba yang sudah diterima secara umum dan berlaku di seluruh Daerah Batak Toba, terutama di daerah-daerah perantauan.

URGENSI DAN HARAPAN


Dengan menerima empat sisi negatip yang dikemukakan Saudara Waldemar Simamora, penulis ingin menambahkan bahwa acara patortorhon parumaen selain menyita waktu yang banyak, tetapi juga telah lebih banyak mengabaikan azas-azas perkawinan Adat Batak Toba perihal perkawinan. Seperti acara yang lebih mengutamakan manortor (meskipun tidak dengan tortor Batak yang benar) dari pada acara “marhata Raja” dan acara “panandaion” yang sudah sangat terbatas bahkan terabaikan karena waktu yang sudah menjelang malam.

Dahulu, para orangtua selalu menganjurkan agar penyampaian ulos tidak sampai matahari terbenam atau malam hari, melainkan sebaiknya supaya di siang hari yang masih cerah dan terang benderang.Demikian dengan acara “penyampaian jambar juhut” yang tidak lagi “marjambar niadopan”, sedikit banyak telah mengurangi makna dan azas pesta perkawinan. Semuanya itu terjadi karena acara “patortorhon parumaen” yang menurut pengamatan penulis, telah menyita waktu dua sampai tiga jam.

Urgensi yang dapat ditarik dari acara “patortorhon parumaen: selain perkenalan pengantin adalah upaya peningkatan hubungan kekerabatan semata. Keuntungan yang diharapkan oleh pihak paranak dari penerimaan olop-olop, sesungguhnya masih dapat diperoleh pada kesempatan penerimaan “tumpak”. Yang sudah barang tentu akan diberikan oleh keluarga yang bersimpati khususnya oleh pihak kerabat, dan boru-bere dari pihak laki-laki.  Apabila dibandingkan, diadakannya acara “patortorhon parumaen” atau “tanpa acara patortorhon parumaen”, barangkali adalah lebih besar mudaratnya daripada keuntungan yang didapatkan oleh pihak par-boru. Seperti kerugian oleh karena acara yang memakan waktu hingga dua atau tiga jam. Terlebih karena acara mengorbankan azas-azas pokok perkawinan seperti acara “marhata Raja”, acara “panandaion” dan lain-lain yang mengabaikan hal-hal yang lebih urgen. Dalam kondisi kampung huta yang saling berjauhan seperti digambarkan oleh penulis pertama, sehingga tidak jarang mengorbankan waktu satu hari dan dua malam setiap mengikuti acara pesta, sekiranya ada saling pengertian dari kedua belah pihak untuk tidak melaksanakan acara “patortorhon  parumaen” lagi. Namun melakukan tahapan acara yang urgen menurut azas perkawinan Batak Toba yang benar.

Harapan kita, perumpamaan “sidapot solup do naro”  janganlah dijadikan alasan dan penekanan kepada hula-hula yang menjadi pendatang, untuk memaksakan kemauan sepihak seperti yang sudah banyak terjadi selama ini. Adat Batak yang benar adalah adat atas komitmen dan kesepakatan oleh kedua-belah pihak. Sehingga, umpasa yang berbunyi “aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen nasaut” menjadi acuan acara demi acara antara kedua belah pihak dan tanpa mengabaikan azas-azas perkawinan dalam adat Batak Toba yang benar. (Penulis SP Sitompul SH, gelar O Jeremy adalah Advokat, tinggal di Pematangsiantar, pemerhati Hukum dan dinamika adat-istiadat & sosial/kemasyarakatan/c)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru