Bima (SIB)- Letusan Gunung Tambora 200 tahun lalu, tepatnya pada 11 April 1815 disebut sebagai letusan terbesar dalam sejarah abad modern. Hampir separuh gunung patah dan muncul kaldera yang sangat luas yaitu sekitar 8 Km persegi di bawah puncak gunung. Gunung yang semula berketinggian 4.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut, kini menjadi 2.815 mdpl.
Letusan ini bahkan menyebabkan perubahan iklim di Eropa. Hingga setahun setelah letusan terjadi, yaitu pada tahun 1816, musim panas di Eropa tetap gelap. Sebab material muntahan Gunung Tambora menutup atmosfer sehingga menghalangi matahari.
Kedahsyatan letusan Gunung Tambora tersebut tertuang dalam naskah kuno Bima, Bo Sangaji Kai. Naskah tersebut ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dengan jumlah halaman 120.
Putri Sultan Muhamad Salahuddin atau Sultan Bima terakhir, Siti Maryam Salahuddin (88), membacakan potongan kisah tersebut. Maryam, yang disapa oleh warga setempat dengan sebutan Ina Kau Mary (Ibu Besar Maryam), merupakan satu dari sedikit orang yang masih bisa membaca tulisan kuno itu. Wartawan berkesempatan mengunjungi Ina Kau Mary bersama Tim Ekspedisi NKRI 2015 dan mendengarkan sekelumit cerita tentang kedahsyatan letusan Tambora.
"Pada saat itu Hari Selasa subuh. Alam kembali gelap gulita seperti malam hari. Tiba-tiba terdengar bunyi sangat keras seperti meriam. Dikira bunyi orang perang," kata Maryam di kediamannya, Jl Gajah Mada 1, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Jumat (10/4).
Maryam melanjutkan, pada saat itu, hujan abu dan batu terjadi terus menerus hingga 3 hari lamanya. Orang-orang kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi.
"Rumah dan tanaman rusak semua. Rupanya Gunung Tambora meletus," kisah doktor pada bidang ilmu Filologi Fakultas Sastra Unpad ini.
Warga penduduk sekitar Gunung Tambora tak tersisa. Kekeringan terjadi di mana-mana. Cuaca buruk, pertanian terhenti total. Sawah habis tidak bisa ditanami padi hingga bertahun-tahun setelah letusan itu terjadi. "Orang kelaparan sampai menjual anaknya. Ndak ada apa-apa," ujarnya.
Ketebalan abu vulkanik kala itu tak main-main, yaitu mencapai 2 meter. Air laut terus-terusan pasang. Bencana pada saat itu merata. Penduduk yang tinggal di dekat gunung meninggal, sementara yang jauh menderita kelaparan dan kemiskinan.
Kini, setelah 2 abad sejak peristiwa letusan maha dahsyat itu, tanah Bima menjadi sangat subur. Tak ada lagi bencana kelaparan dan kekeringan separah dahulu. Alamnya cantik dikelilingi perbukitan dan lautan. Bima juga kini terkenal dengan jenis batuannya yang menarik. Tak hanya batu gamping dan marmer, di Bima juga banyak batu yang bisa menjadi bahan untuk pembuatan batu akik.
(detikcom/h)