Jumat, 22 November 2024

Perang Pandan, Tradisi Tahunan Menghormati Dewa Indra

Redaksi - Sabtu, 20 Maret 2021 10:05 WIB
629 view
Perang Pandan, Tradisi Tahunan Menghormati Dewa Indra
Liputan6.com/Dewi Divianta
Perang Pandan, tradisi di Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem, Bali.
Karangasem (SIB)
Anda tahu perang pandan? Jika Anda pernah berlibur di Bali, pasti pernah mendengar tradisi perang pandan. Ya, perang pandan merupakan tradisi di Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem.

Jika beruntung, Anda dapat menyaksikan secara langsung tradisi tahunan di desa tertua di Bali itu. Eyang Teruna Desa Tenganan, Kadek Sukadnyana, menyebutkan tradisi perang pandan yang merupakan persembahan untuk Dewa Indra masuk dalam nominasi Pesona Wisata versi Atraksi Terfavorit.

"Sementara, Desa Tenganan sendiri masuk dalam nominasi Desa Adat Terfavorit versi Pesona Wisata," ucap Sukadnyana kepada Liputan6.com di Karangasem, Bali.

Ia menjelaskan, perang pandan merupakan persembahan kepada Dewa Indra. Pada zaman dahulu, Tenganan merupakan daerah yang dipimpin oleh seorang raja bernama Maya Denawa. Raja Maya Denawa memimpin dengan amat kejam.

Bahkan, ia menganggap dirinya adalah dewa. Lantaran itu, ia memerintah rakyat Tenganan untuk menuruti cara sesembahan seperti yang diinginkannya. Otomatis ia melarang rakyat Tenganan menjalankan ritual keagamaan.

Perilaku Maya Denawa yang mengaku sebagai dewa dan bertindak sewenang-wenang membuat murka para Dewata. Lalu diutuslah Dewa Indra, dewa perang, untuk memerangi Maya Denawa.

Menurut Sukadnyana, ritual perang pandan untuk memperingati momen peperangan yang dimenangkan oleh Dewa Indra tersebut. "Tradisi ini merupakan persembahan kepada Dewa Indra, dewa perang berupa darah. Selain itu, ritual ini juga untuk kesuburan tanah Tenganan."

Ritual perang pandan disiapkan sejak lama agar prosesinya berjalan sempurna. Proses persiapan sedikitnya memakan waktu selama sepuluh hari yang diisi oleh berbagai macam ritual keagamaan sebelum ritual perang pandan benar-benar dilaksanakan.

Mengenai usia, Sukadnyana mengaku tak ada batas minimal bagi siapa pun untuk mengikuti ritual ini. Mereka yang sudah siap secara mental dipersilakan mengikuti prosesi ini.

"Usia tidak ada batasan. Kalau sudah berani, silakan saja ikut perang pandan," kata dia.

Perang pandan, ujar Sukadnyana, dilaksanakan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan Desa Adat Tenganan. Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut. Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali. Perang pandan dilaksanakan mulai dari pukul 14.00 Wita hingga selesai.

Alat yang digunakan pada perang pandan, yakni daun pandan berduri yang digunakan sebagai senjata untuk berperang. Pandan berduri itu diikat, sehingga berbentuk seperti gada. Peserta kemudian diberikan tameng untuk menghalau sabetan pandan berduri. Tameng yang digunakan terbuat dari anyaman rotan.

Meski menggunakan tameng, tetap saja ayunan pandan berduri dari lawan mengenai badan peserta lainnya. Jika sudah begitu, darah segar pun mengalir dari tubuh para peserta. Namun, tak ada dendam dalam ritual ini. Setelah itu, mayoritas peserta yang merupakan remaja kembali bercengkerama dengan akrab.

Perang pandan juga diiringi dengan musik gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu tidak boleh menyentuh tanah. (Lip.6/c)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru