Suku Loloda merupakan salah satu di antara banyaknya suku yang mendiami tanah Maluku. Suku-suku lainnya yang ada tentunya punya beragam tradisi unik bahkan masih terjaga hingga kini.
Tapi, tak sedikit pula tradisi itu punah lantaran termakan oleh zaman atau dilarang oleh pemerintah. Salah satunya adalah berburu kepala manusia.
Ya, tradisi mengerikan ini dilakoni oleh Suku Naulu yang mendiami Pulau Seram. Tradisi berburu kepala manusia dianggap memiliki arti penting.
Sebab, memberikan kepala seseorang merupakan salah satu bentuk persembahan untuk nenek moyang. Selain itu, suku yang mendiami Dusun Sepa dan Dusun Nuanea juga percaya bila tradisi ini membuatnya terhindar dari musibah atau bahaya. Serta menjadi kebanggaan tersendiri dan sebagai simbol kekuasaan.
Maka tak heran, selain untuk persembahan kepada leluhur, kepala manusia yang memiliki arti penting juga dijadikan sebagai mas kawin hingga saat mendirikan rumah.
Dahulu, raja dari Suku Naulu juga menggunakan cara ini untuk menentukan menantu laki-laki. Ya, para pelamar anak gadis raja harus membawa kepala manusia untuk mas kawin sebagai bukti kejantanannya.
Persembahan kepala manusia juga dilakukan saat penduduk mengadakan ritual Pantheri, yakni sebuah ritual perayaan untuk laki-laki yang sudah beranjak dewasa.
Jadi, anak laki-laki yang beranjak dewasa tersebut harus menyerahkan satu kepala yang sudah terpenggal sebagai bukti bahwa ia sudah dewasa.
Setelah remaja itu berhasil memenggal kepala seseorang, mereka akan mengikat kepalanya menggunakan ikatan kepala berwarna merah. Ikat kepala ini sebagai simbol kedewasaan.
Beberapa sumber menyatakan jika tradisi ini hilang di awal tahun 1900-an. Ada juga yang mengatakan tradisi masih dilakukan hingga tahun 1940-an.
Pada 2005 silam juga pernah ditemukan dua mayat tanpa kepala di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Saat ditemukan mayat tersebut dalam keadaan sudah terpotong-potong.
Hasil penyidikan menunjukkan jika mayat tersebut dibunuh oleh Suku Naulu, dengan marga Sounawe. Kepala itu digunakan untuk persembahan kepada leluhur, karena mereka ingin melakukan ritual untuk memperbaiki rumah adat.
Akhirnya, pelaku mendapat hukuman mati dan dipenjara seumur hidup. Pemerintah pun turun tangan untuk melakukan sosialisasi kepada semua pihak tentang adanya hukuman tegas bagi tindakan pembunuhan.
Dan kini tradisi memenggal kepala sudah dihapuskan. Namun, untuk ritual pengangkatan pria yang beranjak dewasa masih tetap berlangsung, tapi sesajennya diganti dengan burung kuskus. (kumparan/c)
Sumber
: Hariansib edisi cetak